Oleh: Hordani*
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) tidak lahir dari ruang hampa. Ia merupakan jawaban atas tantangan zaman—lahir dari kesadaran bahwa mahasiswa islam Indonesia harus menjadi subjek aktif dalam perubahan sosial, bukan sekadar penonton sejarah.
Sejak kelahirannya, PMII menegaskan posisi sebagai organisasi kaderisasi yang tidak hanya memperkuat intelektualitas dan spiritualitas anggotanya, tetapi juga menyuguhkan jawaban-jawaban kritis atas problem kebangsaan dan keumatan.
Di era digital dan kompleksitas zaman hari ini, PMII harus tetap menjadi organisasi yang adaptif. Kaderisasi tidak boleh stagnan pada metode lama yang tidak relevan dengan tantangan kekinian. Adaptasi bukan hanya soal teknologi, tetapi juga tentang bagaimana organisasi ini mampu terus menyerap semangat zaman, tanpa kehilangan akar ideologis dan nilai-nilai Ahlussunnah wal Jama’ah yang menjadi pijakan utama.
Harlah tahun ini harus menjadi momentum untuk membangkitkan kembali semangat kritisisme. Kritik terhadap kekuasaan eksternal tetap penting, tetapi jangan lupakan bahwa kritik terhadap internal organisasi juga adalah bagian dari cinta. PMII harus berani melakukan refleksi diri, mengakui kekeliruan, dan membuka ruang perbaikan.
Apalagi, Harlah kali ini bertepatan dengan momentum penting: Konfercab PMII Sumenep. Ini bukan sekadar ajang suksesi, tetapi momen menentukan arah pergerakan ke depan. Kita membutuhkan sosok pemimpin yang tidak hanya paham sejarah dan ideologi PMII, tetapi juga mampu mempraktikkannya dengan nyata. Sosok yang bisa mengesampingkan kepentingan politik sesaat demi menjaga marwah organisasi. Karena PMII bukan alat politik, tetapi rumah kaderisasi yang harus tetap bersih dan berwibawa.
Mari kita jadikan Harlah ini bukan sekadar perayaan, tetapi titik tolak menuju pembaruan dan pemurnian kembali nilai-nilai pergerakan. Semoga lahir pemimpin yang mampu menjadi jembatan antara idealisme dan realitas, antara gagasan dan tindakan.
*Ketua Kopri PMII STITA Tarate Sumenep