Oleh: Hambali Rasidi*
Saat ini, seperti puncak musim pancaroba. Anak-anak rentan sakit. Mereka terkena
demam, diare, influenza, infeksi saluran pernapasan akut, asma, dll.
Mereka anak anak di Sumenep banyak berobat ke dokter Domi dokter spesialis anak.
Terlihat. Senin malam (01/13). Mobil-mobil berjejer. Parkir. Kanan kiri jalan. Dari arah timur. Setelah Rumdis Bupati. Suasana seperti ada sesuatu. Jalanan tak seperti biasa. Karena jam sudah menunjukkan 21.30 WIB. Banyak mobil parkir jelang tengah malam.
Saya kebetulan lewat di sana, sempat menoleh. Antrean pasien menumpuk di rumah Dr dr. Dominicus Husada, Sp. A. Di sana tempat praktik doker domi.
Musim pancaroba merupakan fenomena alam. Berlangsung setiap tahun. Tapi kenapa belum ada langkah antisipasi merespon menjelang fenomena pancaroba.
Perkembangan ilmu medis sudah kian canggih. Di luar sana. Sudah banyak yang memanfaatkan teknologi untuk memprediksi gejala penyakit yang akan terjadi.
Seperti BlueDot, aplikasi untuk memprediksi dan memantau wabah penyakit menular. Seperti demam berdarah atau malaria.
BNPB punya aplikasi InaRISK untuk analisis risiko kesehatan terkait bencana.
Sumenep sebenarnya bisa memanfaatkan aplikasi semacam Predictive Health. Memanfaatkan dataset lokal untuk prediksi penyakit yang relevan dengan kondisi lingkungan sekitar.
Itu saya baca hasil penelitian mahasiswa asal Sumenep yang terbit di jurnal nasional.
Si mahasiswa itu, menggunakan algoritma FP-Growth dalam mendiagnosa
penyakit untuk menemukan asosiasi antara berbagai gejala dan diagnosa penyakit dalam dataset medis.
FP-Growth disebut salah satu algoritma yang paling efisien untuk frequent pattern mining. Itu digunakan untuk menemukan pola asosiasi antara item-item dalam dataset, seperti hubungan antara gejala pasien dan penyakit yang diderita.
Hasil pola-pola itu bisa digunakan untuk membantu dalam pengambilan keputusan medis, memberikan rekomendasi diagnosa, atau mengembangkan sistem diagnosis berbasis gejala.
Hasil penelitian di beberapa kecamatan di Kabupaten Sumenep itu masih belum dikembangkan menggunakan sistem berbasis Artificial Intelligence (AI) dan Machine Learning (ML).
Si mahasiswa itu lagi konsern mencipta ChatBot AI lokalitas. Bedanya dengan chatGPT produk open AI milik Elon Musk, bersifat global.
Produk ChaBot AI karya anak Sumenep itu, sudah dikustom mengikuti selera lokalitas.
Bisa jadi, ChaBot AI Lokal karya anak Sumenep itu bisa mengolah data medis pasien, berdasarkan masukan pengguna.
Hasilnya bisa membaca gejala awal dan memberi rekomendasi.
Kendati demikian. Rekomendasi mesin itu masih menunggu validasi tenaga medis yang legal.
Setidaknya. Kerja kerja teknologi membantu manusia.
Biar mengurangi antrean orang tua membawa anak antre di ruang praktik dokter domi.
Iya bagi pasien di seputaran kota bisa menyesuaikan jadwal antrean. Berbeda dengan keluarga pasien yang dari pelosok. Mereka harus sabar menunggu. Sejak sore hari. Menemani si kecil untuk diperiksa dan diberi obat oleh dokter domi.
Salam…
*Penulis: Wartawan Senior di Kabupaten Sumenep, sekaligus Pendiri Matamadura, salah satu media online lokal yang mengudara di awal-awal tahun 2000-an.