ylliX - Online Advertising Network
Opini  

Ziarah ke Makam Bung Karno: Menyambung Napas Perjuangan yang Belum Usai

Foto penulis saat berziarah ke makam bung Karno di Blitar.
Oleh: Alfa Salsabilah – Mahasiswa UNTAG Surabaya

Nataindonesia.com • Setiap 21 Juni, bangsa ini seakan dihentakkan kembali oleh memori kolektif tentang sosok yang lebih dari sekadar proklamator. Bung Karno bukan hanya bagian dari lembaran sejarah, ia adalah denyut nadi ideologi yang membentuk wajah Indonesia hari ini. Dalam peringatan hari wafatnya, saya bersama sahabat-sahabat GMNI UNTAG Surabaya tak hanya menabur bunga di pusara beliau di Blitar, tetapi sekaligus meresapi makna perjuangan yang masih jauh dari kata selesai.

Bagi saya, ziarah ini bukan ritus sunyi yang ditelan formalitas. Ini adalah panggilan nurani. Ketika negeri ini kian dihimpit krisis nilai, menguatnya individualisme, dan apatisme generasi muda, saya percaya bahwa semangat Bung Karno dengan nasionalismenya yang membumi dan keberpihakannya pada kaum tertindas masih amat relevan. Ia hadir sebagai kompas moral, penuntun arah ke tengah badai zaman yang kerap membingungkan.

Tak bisa kita pungkiri, banyak anak muda hari ini terputus dari sejarahnya sendiri. Di sinilah pentingnya menghidupkan kembali pesan Bung Karno: “Jangan sekali-kali melupakan sejarah.” Kita butuh lebih dari sekadar mengenang kita harus menjadikannya laku hidup. Membumikan kembali Marhaenisme sebagai cara berpikir dan bertindak dalam menjawab tantangan sosial kontemporer bukanlah romantisme masa lalu, tapi tanggung jawab ideologis.

Baca Juga:  Pesantren Filter Westernisasi pada Anak

Saya yakin, perubahan besar dimulai dari langkah-langkah kecil. Dari pusara Bung Karno, saya pulang tidak dengan kesedihan, melainkan dengan keyakinan. Keyakinan bahwa warisan beliau bukan untuk dikagumi, melainkan untuk diperjuangkan. Ia hidup dalam keberanian kita memilih keberpihakan pada keadilan, pada kesetaraan, dan pada rakyat itu sendiri.

Pemikiran Bung Karno layak dikaji sebagai pijakan intelektual dalam memahami fondasi berdirinya Republik Indonesia. Soekarno bukan sekadar tokoh politik, tetapi juga arsitek ideologis bangsa yang berperan besar dalam merumuskan identitas kebangsaan Indonesia modern.

Secara historis, perjuangan Bung Karno dimulai jauh sebelum Proklamasi 1945. Melalui organisasi seperti Algemeene Studie Club di Bandung dan Partai Nasional Indonesia (PNI), ia mengusung gagasan kemerdekaan yang tidak sekadar bebas dari penjajahan, tetapi juga berpijak pada asas keadilan sosial dan kebangsaan yang inklusif. Ia mengartikulasikan konsep nasionalisme yang tidak bersifat sempit atau chauvinistik, melainkan merangkul keberagaman etnis, agama, dan budaya di nusantara.

Dalam perspektif ilmiah, perjuangan Soekarno dapat dipahami sebagai transisi dari kolonialisme menuju nation-building. Ia tidak hanya menggerakkan massa, tetapi juga membangun wacana politik berbasis narasi keindonesiaan. Pidato-pidatonya, seperti “Indonesia Menggugat” dan “Lahirnya Pancasila”, menjadi teks politik yang dapat dianalisis menggunakan teori-teori diskursus dan nationhood.

Baca Juga:  Ekspor Pasir Laut RI Ancam 34 Ribu Orang Nganggur, PDB Turun Rp 1,22 T

Namun, perjuangan Bung Karno juga tidak lepas dari dinamika kekuasaan dan kritik. Di masa Demokrasi Terpimpin, ia menghadapi tudingan otoritarianisme, meskipun tujuannya adalah menjaga stabilitas di tengah ketegangan ideologis Perang Dingin. Hal ini membuka ruang diskusi ilmiah tentang peran kepemimpinan kharismatik dalam negara pascakolonial.

Sejarah panjang perjuangan Bung Karno adalah contoh nyata bagaimana ide, tindakan, dan struktur kekuasaan saling berkelindan dalam proses pembentukan negara. Ia adalah simbol perjuangan yang tidak hanya melawan kolonialisme, tetapi juga melahirkan gagasan kebangsaan yang hidup hingga kini.

Pidato-pidato Bung Karno tetap relevan di zaman modern karena mengandung nilai-nilai universal yang menjawab tantangan kontemporer mulai dari krisis identitas, polarisasi politik, hingga ketimpangan sosial.

Pancasila sebagai Penangkal Polarisasi

Pidato “Lahirnya Pancasila” menekankan pentingnya persatuan dalam keberagaman. Di tengah maraknya politik identitas dan ekstremisme, Pancasila tetap menjadi fondasi ideologis yang inklusif dan moderat. Bung Karno menyebutnya sebagai “philosophische grondslag” atau dasar filsafat bangsa sebuah konsep yang masih menjadi jangkar etika dan kebijakan publik hari ini.

Baca Juga:  Trend Hidup Diluar Negeri, Ini Perbandingan Pendapatan Orang Indonesia Dengan Negara Tetangga

Gotong Royong sebagai Etos Sosial

Konsep Ekasila yakni gotong royong yang ia sampaikan dalam pidato BPUPKI, sangat relevan dalam menghadapi tantangan global seperti pandemi, krisis iklim, dan ketimpangan ekonomi. Di era individualisme digital, semangat kolektif ini menjadi penyeimbang yang penting.

Pidato di PBB: Visi Global yang Progresif

Pidato Bung Karno di Sidang Umum PBB tahun 1960, “To Build the World Anew”, menyerukan tatanan dunia yang adil dan damai. Ia menolak dominasi negara adidaya dan menyerukan solidaritas global. Pidato ini kini diakui UNESCO sebagai Memory of the World karena relevansinya terhadap isu-isu seperti kolonialisme baru, ketimpangan global, dan perdamaian dunia.

Kritik terhadap Dogmatisme

Bung Karno juga dikenal sebagai pembaharu pemikiran keislaman. Ia mendorong umat untuk berpikir rasional dan menolak taklid buta. Dalam konteks sekarang, ini menjadi penting untuk membangun keberagamaan yang inklusif dan toleran.

Dengan kata lain, pidato-pidato Bung Karno bukan sekadar arsip sejarah, tapi juga sumber inspirasi strategis dan moral untuk menjawab tantangan zaman.