Nataindonesia.com – Bank Dunia (World Bank) memproyeksikan rasio pendapatan negara Indonesia pada 2025 hanya mencapai 11,9% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka ini menurun dari 12,84% PDB pada 2024.
Kondisi tersebut jauh di bawah target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 sebesar 13,75%-18,00% PDB, serta target spesifik 2025 sebesar 14,9% PDB. Penurunan ini menggarisbawahi tantangan fiskal yang dihadapi Indonesia dalam mengoptimalkan penerimaan pajak.
Bank Dunia merilis laporan Macro Poverty Outlook (MPO) edisi April 2025 – Dalam laporannya tersebut menyebutkan bahwa penyebab utama rendahnya pendapatan Indonesia karena basis pajak yang sempit, rendahnya kepatuhan wajib pajak, dan kompleksitas administrasi perpajakan.
Sektor informal, yang mendominasi perekonomian, sulit dikenai pajak, sementara sektor formal masih menjadi tumpuan utama. Meskipun pemerintah telah menerapkan reformasi seperti Program Pengungkapan Sukarela (PPS) dan pajak karbon sejak 2022, hasilnya belum memadai untuk mencapai target ambisius yang ditetapkan.
Selain itu, MPO memproyeksikan defisit anggaran Indonesia pada 2025-2027 akan mencapai 2,7% dari PDB, lebih tinggi dari asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 sebesar 2,53% PDB dan target RPJMN 2025-2029 sebesar 2,45%-2,50% PDB.
Dengan pertumbuhan nominal PDB yang terus meningkat, defisit dalam nilai absolut diperkirakan semakin besar. Program prioritas Presiden Prabowo Subianto, seperti makan siang gratis dan dana kekayaan negara (Danantara), menjadi salah satu pemicu utama. Kebijakan ini menambah tekanan pada keuangan negara, terutama setelah pengumuman pemotongan anggaran sebesar USD19,1 miliar pada Februari 2025 untuk dialihkan ke program-program tersebut.
Langkah ini memicu keresahan sosial dan kekhawatiran investor, karena dapat menghambat pembangunan infrastruktur strategis dan pendidikan tinggi, yang krusial untuk pertumbuhan jangka panjang.
Kondisi Utang Negara
Rasio utang pemerintah juga diproyeksikan meningkat, mencapai 40,1% PDB pada 2025, naik ke 40,8% pada 2026, dan 41,4% pada 2027. Angka ini melampaui target RPJMN sebesar 39,15% pada 2025 dan 39,01%-39,10% pada 2029.
Kenaikan utang ini didorong oleh ekspansi kabinet yang “gemuk” serta kebutuhan pembiayaan proyek infrastruktur dan program sosial dalam rangka visi Indonesia Emas 2045.
Meskipun masih di bawah batas aman 60% PDB, kenaikan utang ini berpotensi meningkatkan biaya bunga, sehingga mengurangi ruang fiskal untuk belanja produktif.
Dari sisi ekonomi, Bank Dunia merevisi proyeksi pertumbuhan Indonesia untuk 2025 menjadi 4,7%, turun dari 5,1%, dengan konsumsi rumah tangga sebagai penggerak utama. Namun, perlambatan belanja pemerintah pada 2024 turut melemahkan stimulus ekonomi.
Dalam konteks kemiskinan, laporan mencatat 60,3% atau 172 juta penduduk masih hidup di bawah garis kemiskinan internasional ($5,50 per hari, harga 2011). Meski demikian, tingkat kemiskinan nasional turun menjadi 9,03% pada Maret 2024, didukung oleh anggaran perlindungan sosial sebesar Rp496,9 triliun hingga Rp513 triliun pada 2025.
Dalam menghadapi kondisi tersebut, Bank Dunia merekomendasikan Indonesia melakukan perluasan basis pajak, penyederhanaan sistem perpajakan, dan peningkatan kepatuhan wajib pajak melalui digitalisasi dan penegakan hukum.
Pemerintah juga didorong untuk menjaga defisit di bawah 3% PDB dan memitigasi risiko eksternal, seperti fluktuasi komoditas dan perubahan iklim.
APBN 2025 yang menitikberatkan pada pengentasan kemiskinan dan ekonomi hijau, serta inisiatif digitalisasi Bank Indonesia melalui QRIS dan BI-FAST, menjadi langkah strategis untuk mendukung pertumbuhan inklusif. Namun, tanpa reformasi fiskal yang agresif, target Indonesia Emas 2045. berisiko sulit tercapai.
Sumber: Laporan Macro Poverty Outlook April 2025, BPS, Kementerian Keuangan RI, dan Jakarta Globe.