Takdir Samin: Katanya Rencana Tuhan Lebih Indah?

Foto: Sebuah ilustrasi garis takdir yang tersirat dalam catatan hidup.

Samin dan Takdirnya

Tak pernah ada yang benar-benar tahu kapan Samin lahir. Di buku catatan RT, namanya hanya tercantum sebagai “Samin, lahir kira-kira tahun 1955.” Tidak ada akta. Tidak ada foto masa kecil. Hanya kenangan samar dari orang-orang tua yang mulai pikun. Ia tumbuh di sebuah desa kecil yang bahkan namanya sering tertukar dalam peta administratif. Terlalu sunyi untuk disebut kampung, terlalu hidup untuk disebut mati.

Ayahnya, seorang penggarap sawah, meninggal tertimpa pohon saat mencari kayu bakar ketika Samin masih bayi. Ibunya menyusul dua tahun kemudian karena demam berkepanjangan yang tak pernah diperiksa ke puskesmas—terlalu jauh, terlalu mahal, terlalu mustahil. Samin kecil tidak menangis. Mungkin karena belum mengerti. Atau karena sejak awal ia dilahirkan dalam dunia yang sudah kering air mata.

Setelah itu, hidupnya seperti bola nasib yang diperebutkan oleh tangan-tangan yang tidak benar-benar peduli. Ia berpindah-pindah rumah dari satu saudara ke saudara lain. Bukan karena disayang, melainkan karena tak ada yang tega membiarkannya tidur di surau sendirian. Tapi rumah yang menampung tak selalu berarti rumah yang menerima. Ia tumbuh dengan kata-kata kasar dan tatapan penuh beban. Anak pungut, kata mereka. Tak tahu terima kasih. Tak tahu diri.

Baca Juga:  DJ Almira Berto Batal Manggung Di Sumenep, Aktivis: Kami Apresiasi Para Pihak Yang Berwenang

Ketika anak-anak lain mulai sekolah, Samin sudah terbiasa mencangkul tanah, menggiring sapi, atau memungut kayu. Tidak ada huruf, tidak ada angka, hanya musim dan rasa lapar yang berganti. Ia belajar membaca dari label karung beras dan mengenal hitungan dari menghitung jumlah piring saat mencuci. Dunia baginya tidak disusun oleh teori, tapi oleh sisa-sisa yang ditinggalkan orang lain.

Di usia 15, Samin bekerja penuh waktu. Musim panen atau paceklik, upahnya tetap: sedikit nasi, dan kadang segelas teh. Ia menerima semuanya tanpa keluhan. Bukan karena sabar, tapi karena tidak tahu harus mengadu ke siapa. Di malam hari, ia tidur di lantai bambu yang berderit setiap kali tubuhnya bergeser. Sering kali ia terbangun karena mimpi buruk yang sama: ditinggalkan, dicaci, dilupakan.

Pernah, sekali saja dalam hidupnya, Samin jatuh cinta. Gadis penjual tempe di pasar pagi itu bernama Rini. Matanya cerah, tawanya ringan, dan ia tak pernah menyapa Samin dengan cemooh. Rasa itu tumbuh diam-diam seperti lumut di tembok tua. Tapi cinta yang lahir dari lumpur jarang diberi ruang untuk berbunga. Rini dinikahkan dengan lelaki pegawai kelurahan, dan Samin hanya menerima kabar itu dari undangan yang dilempar ke keranjang sayur oleh kurir desa.

Baca Juga:  Cerita Sarkas: Petualangan Absurd di Kafe Sarcasmia

Setelah itu, ia berhenti percaya pada yang manis-manis. Ia tak pernah lagi bicara panjang dengan perempuan mana pun. Ia juga tak pernah menikah. Bukan karena tak mau, tapi karena tak pernah ada yang benar-benar melihatnya sebagai manusia utuh. Rumahnya terlalu reyot. Hidupnya terlalu sunyi. Wajahnya terlalu lelah untuk dijadikan masa depan.

Maka Samin menjalani hidup sendirian. Dari ladang ke ladang, dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain. Membersihkan got, memungut sampah pasar, menjaga sawah orang kaya. Tubuhnya mengeras, jari-jarinya kapalan, punggungnya perlahan melengkung seperti sabit. Tapi setiap pagi ia tetap bangun, merebus air, dan berjalan pelan menuju kehidupan yang sama.

Ia tidak pernah punya hari ulang tahun. Tidak ada momen perayaan. Tidak ada foto keluarga, tidak ada anak, tidak ada istri, tidak ada siapa-siapa. Namun ia juga tidak pernah merepotkan siapa pun. Saat sakit, ia meracik sendiri air jahe dan minyak kayu putih. Saat demam, ia hanya tidur lebih lama. Pernah beberapa tetangga membawakannya bubur, tapi hanya karena takut nanti kalau meninggal, tak ada yang tahu.

Baca Juga:  Ketika Kopiku Jadi Teh - Part I

Dan begitulah akhir hidup Samin: ditemukan meninggal di dipan bambu rumahnya, dalam posisi menyamping, seolah hanya tertidur. Perutnya kosong, radio tuanya masih menyala dengan siaran yang tak jelas. Ia wafat di usia sekitar 70 tahun, tanpa pernah benar-benar merasa hidup.

Pemakaman dilakukan sederhana. Tidak ada tangisan keras, hanya gumaman doa dan satu-dua orang yang mengingatnya sebagai “lelaki tua yang tidak cerewet.” Kepala desa menuliskan sesuatu di batu nisannya—sebuah kalimat yang ia baca entah dari mana, mungkin dari status WhatsApp anaknya:

Samin (±1955–2025)
“Katanya Rencana Tuhan Lebih Indah”

Beberapa orang mengangguk pelan saat membacanya. Beberapa hanya diam. Tak ada yang tahu pasti apakah itu bentuk doa, harapan, atau ironi. Karena bagi Samin, sepanjang hidupnya, keindahan adalah sesuatu yang hanya ia dengar dari mulut orang lain, tapi tak pernah ia lihat sendiri.

Mungkin benar, rencana Tuhan lebih indah. Tapi tidak semua orang sempat melihat hasil akhirnya. Beberapa hanya mendapat peran sebagai pengingat: bahwa dunia ini juga diisi oleh mereka yang hidup dalam diam, menderita tanpa sorotan, dan mati tanpa kenangan—namun tetap manusia seutuhnyaa.