Opini  

Selamat Hari Santri: Pesantren, Publik Mata Duitan, dan Artificial Intelligence

Foto: Moh Riyadi politisi Kabupaten Sumenep.

Oleh : Moh Riyadi*

Pesantren adalah lembaga pendidikan tertua dan paling otentik di Indonesia, ia berdiri jauh sebelum istilah “lembaga pendidikan formal” dikenal. Di sana ilmu bukan sekadar kurikulum, melainkan laku hidup dan pondasi agama. Sistemnya sederhana, akan tapi sarat makna. Kiai sebagai pusat keteladanan, santri adalah murid sekaligus pejuang ilmu pengetahuan, dan masyarakat merupakan lingkar yang menopang keduanya.

Tradisi di pesantren mungkin memang tidak lazim bagi pandangan modern, santri menunduk, mencium tangan, bahkan kadang mencium kaki gurunya sebagai tanda hormat. Ada pula yang menyelipkan amplop berisi uang dalam salaman, itu adalah sebuah simbol terima kasih, bukan transaksi.

Tapi, (ah sudah lah) sebagian orang terburu-buru menilai itu sebagai bentuk feodalisme atau relasi ekonomi, ini adalah silogisme yang terjadi. Ketika penghormatan ditafsir hanya dengan logika untung rugi, yang hilang bukan hanya makna, akan tetapi juga adab.

Demikian yang dilakukan Trans7 tentang Pesantren Lirboyo, tayangan yang seharusnya memperkenalkan khazanah tradisi malah menggiring opini seolah pesantren adalah ladang kapitalisme spiritual dan sebuah “bisnis kharisma” yang memperjualbelikan kesucian. Framing semacam ini bukan hanya menyederhanakan realitas, akan tetapi juga mencederai kehormatan lembaga yang selama ini menjaga nalar dan moral bangsa.

Baca Juga:  Perihal Hidup dan Segala Kerumitannya

Padahal bila mau berpikir jernih, apa yang salah dari seorang kiai menerima amplop dari santrinya sebagai tanda cinta adab dan rasa terimakasih karena telah diajarkan ilmu? Apakah amplop itu sepadan dengan jasa para kyai dan guru di pesantren yang telah berhasil mendidik anak menjadi orang hebat ? Tentu tidak sepadan karena kyai dan pesantren tentu sudah jelas jasanya bagi berdirinya sebuah negeri bermana NKRI.

Kiai bukan aparatur negara yang digaji dari pajak rakyat, malah sebaliknya, merekalah yang justru mengeluarkan uang pribadi demi menjaga keberlangsungan pendidikan. Banyak pesantren berdiri di atas tanah warisan, dibangun tanpa subsidi, dijalankan dengan gotong royong. Maka, ketika santri atau wali santri memberikan sebagian rezekinya, itu bukan suap itu sedekah sebagai tanda terimakasih meskipun tidak sepadan dengan jasa para kyai. Hal itu dilakukan sebagai bentuk saling menanggung beban agar ilmu tetap berjalan, dalam hal ini pesantren, kyai, dan santri lebih mengerti konsepsi dasar Ekasila bangsa.

Tanpa pesantren, kyai, santri dan para pejuang islam Nusantara niscaya sejarah berkata lain dalam mencatat kemerdekaan negeri ini, hal itu jelas dan terang dalam catatan berdirinya Republik ini. Bahwa peran kyai dan santri sangat fundamental, suka atau tidak negeri lekat dengan tradisi dan perjuangan pesantren dalam menata bangsa.

Baca Juga:  Tiga Momen Prabowo Menolak Keinginan Jokowi: Sebuah Analisis 

Hari Santri yang diperingati setiap 22 Oktober seharusnya menjadi momen mengingat akar itu, santri bukan hanya pelajar kitab, akan tetapi juga penjaga bangsa. Sebelum republik ini berdiri, para santri sudah turun ke medan perjuangan. Resolusi Jihad 1945 lahir dari tangan ulama pesantren, jauh sebelum banyak tokoh nasional memahami arti kemerdekaan yang sesungguhnya. Para kiai tak hanya membentuk moral umat, tapi juga pondasi kebangsaan.

Pesantren bukan sekadar tempat belajar ilmu agama. Ia adalah ruang hidup, tempat tumbuhnya karakter, akhlak, dan kebijaksanaan. Di pesantren, hubungan antara guru dan murid bukan hanya pengajar dan pelajar, melainkan penuh kasih, keteladanan, dan pembentukan jiwa. Bahkan santri militan akan melakukan segala hal yang diperintah oleh kyai dan ilmunya demi sebuah kebenaran, bahkan santri berani mati demi bangsa dan negara yang telah tercatat dalam titah peradaban bangsa Indonesia.

Kini, ketika dunia menghadapi revolusi teknologi dan krisis moral, pesantren kembali memegang peran strategis. Bukan hal tak mungkin transfer pengetahuan lewat guru kelak digantikan oleh teknologi kecerdasan (AI). AI bisa menjawab soal, menulis kitab, bahkan membuat khotbah. Pengetahuan tak lagi langka. Tapi ada yang tak bisa digantikan oleh algoritma, yakni moral!

Baca Juga:  Antrean Dokter Domi dan ChatBot AI Karya Anak Sumenep

AI bisa meniru nalar, tapi tidak bisa meniru niat. AI bisa menyusun argumentasi, tapi tidak bisa menumbuhkan empati. AI bisa mengenali pola, tapi tak punya hati nurani. Dunia semakin pintar, namun manusia bisa jadi rawan kehilangan kebijaksanaan.

Di saat manusia bisa belajar apapun lewat AI, hanya pesantren yang masih mengajarkan cara menjadi manusia. Kecerdasan buatan mampu meniru logika, tapi tidak bisa menanamkan keikhlasan. Mesin bisa menjawab pertanyaan, tapi tak mampu memahami niat.

Maka pesantren akan selalu relevan. Ia bukan anti-kemajuan, hanya menolak kehilangan ruh. Di tengah dunia yang semakin canggih tapi kehilangan hati, pesantren tetap berdiri di jalan yang sama; menjaga ilmu agar tetap beradab, dan menjaga adab agar tetap hidup.

Ketika guru bisa digantikan mesin, hanya pesantren yang mampu menjaga kemanusiaan di dalam diri manusia.”

*Politisi Kabupaten Sumenep