Nataindonesia.com – Rokok ilegal kerap disebut sebagai musuh fiskal. Ia dikutuk karena menimbulkan kerugian negara, merusak tatanan industri, dan mengacaukan sistem pengawasan barang kena cukai. Namun sesungguhnya, itu hanya permukaan. Di balik label “ilegal“, tersembunyi satu kenyataan yang jarang disentuh dalam narasi resmi: eksploitasi manusia yang terjadi dalam senyap.
Pabrik Gelap, Sistem Gelap
Pabrik-pabrik rokok ilegal tidak berdiri di tempat terang. Mereka tumbuh di pinggiran kota, di gang-gang sempit, atau di gudang-gudang yang luput dari radar pengawasan. Tidak ada papan nama. Tidak ada sistem pencatatan. Mereka beroperasi di luar hukum — bukan hanya soal izin industri, tapi juga soal ketenagakerjaan, keselamatan, dan kemanusiaan.
Pekerja di sektor ini bukan hanya tak tercatat. Mereka juga tak terlindungi. Tak ada kontrak. Tak ada standar keselamatan kerja. Tak ada jaminan kesehatan. Tak ada perlindungan hukum. Yang ada hanya mesin, tembakau, asap, dan tekanan produksi. Ruang kerjanya panas, pengap, dan penuh partikel zat berbahaya. Alat pelindung? Hampir tak terdengar. Mereka bekerja dengan tangan kosong dan paru-paru terbuka.
Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan (2023), lebih dari 70% tenaga kerja sektor informal tidak tercakup dalam jaminan sosial dan keselamatan kerja. Di sektor rokok ilegal, angka ini hampir pasti mendekati 100% — karena pengawasan tak pernah sampai. Pabrik-pabrik ini tak tersentuh inspeksi. Tak tersentuh regulasi. Bahkan kerap kali dilindungi oleh sistem informal yang kuat dan tertutup.
Upah Murah, Bahaya Mahal
Upah yang diterima pekerja di pabrik ilegal nyaris tak punya kepastian. Tidak ada slip gaji, tidak ada batas waktu kerja, tidak ada jam istirahat yang diatur. Semua serba luwes—dalam arti yang paling buruk. Ketika produktivitas naik, pengawasan hilang. Ketika ada kecelakaan, tidak ada pertanggungjawaban. Kalau sakit karena kerja, itu dianggap risiko pribadi.
Tidak ada negara di ruang ini. Yang ada hanya kebutuhan ekonomi, tekanan hidup, dan celah gelap yang dibiarkan terbuka karena negara terlalu sibuk mengejar pita cukai — bukan mengejar keadilan bagi yang bekerja.
Kandungan Berbahaya, Konsumen Terancam
Dari sisi konsumen, bahaya juga mengintai. Rokok ilegal tidak melewati proses standardisasi. Tak ada uji laboratorium, tak ada pengawasan bahan baku. Badan POM (2024) menemukan zat berbahaya seperti tar dalam kadar ekstrem, formalin, bahkan logam berat dalam sampel rokok ilegal yang beredar di beberapa daerah. Ini bukan hanya soal pelanggaran, tapi soal nyawa.
Dan ironisnya, justru masyarakat kecil — mereka yang paling terdorong membeli rokok ilegal karena harganya yang murah — menjadi korban ganda. Mereka jadi target distribusi produk berbahaya, dan di sisi lain, mereka juga yang dipekerjakan dalam rantai produksinya.
Jaringan Gelap yang Terorganisasi
Ini bukan industri kecil-kecilan. Ini bukan hanya “pabrik rumahan.” Ini adalah ekosistem. Dengan jaringan distribusi, sistem pelindung, dan pola operasi yang terus berkembang. Data Polri (2023) menunjukkan bahwa penyelundupan dan peredaran rokok ilegal naik sebesar 35% dalam dua tahun terakhir, dan tren ini menguat karena lemahnya pengawasan dan belum adanya strategi penanggulangan yang menyentuh akar masalah.
Di balik itu, ada sistem gelap yang lebih besar: pembiaran struktural. Pemerintah mengandalkan narasi moralitas dan fiskal, tapi tidak benar-benar hadir dalam melindungi tenaga kerja yang dihisap oleh industri ini. Sementara itu, pengusaha ilegal mengisi celah-celah hukum dengan eksploitasi.
Refleksi yang Terlupakan
Pertanyaannya sederhana: siapa yang membayar harga sebenarnya dari keberadaan rokok ilegal? Negara bisa kehilangan triliunan dari sisi cukai, tapi yang paling menderita adalah mereka yang tubuhnya diperas dalam ruang gelap tanpa perlindungan.
Ketika kita bicara soal regulasi, soal penegakan hukum, dan soal moralitas publik, maka kita juga harus bicara soal keadilan bagi pekerja. Karena rokok ilegal bukan hanya barang gelap — ia adalah gejala dari negara yang gagal hadir dalam sistem ekonomi yang paling rentan.
Penulis: Redaktur Nataindonesia.com