Nataindonesia.com – Saat aparat sibuk memamerkan tumpukan batang rokok ilegal hasil razia, bisnisnya justru makin merajalela. Seperti jamur yang tumbuh usai hujan, ia menjalar cepat dari pojok-pojok desa hingga jantung kota. Di balik konferensi pers dan barisan kardus yang disusun rapi untuk kamera, publik mulai bertanya: siapa yang sebenarnya menyiram pertumbuhan ini?
Tumbuh Seperti Rumput Liar, Tapi Tak Pernah Dicabut Akar
Data terbaru dari Indodata Research Center menyiramkan fakta yang tak bisa disangkal: konsumsi rokok ilegal naik drastis dari 28% pada 2021 menjadi 46% pada 2024.
Ini bukan fluktuasi biasa—ini pertumbuhan eksponensial dari bisnis gelap yang dibiarkan bernapas panjang di celah hukum dan kompromi moral.
“Rokok ilegal—terutama yang polos, tanpa cukai—dominan. Potensi kerugian negara mencapai Rp97,81 triliun,” ungkap Direktur Eksekutif Indodata, Danis Saputra Wahidin, Sabtu, 15 Februari 2025, seperti dikutip oleh MetroTVNews.com.
Mayoritas temuan masih sama: merek tanpa izin edar, pita cukai palsu, hingga rokok polos. Dan, seperti biasa, pelaku yang dijerat hanyalah ujung rantai: sopir, kurir, pemilik gudang kecil. Sementara yang mengatur jalur pasokan dan produksi? Entah di mana. Entah siapa.
Penindakan seperti ini tak ubahnya ritual simbolik: memangkas batang, tapi tak pernah menyentuh akar. Sebuah sistem yang sibuk menebang daun-daun liar, tapi tak berani mencabut akar korup dan keruh di bawah tanahnya sendiri.
Madura: Parodi Hukum yang Nyaris Wajar
Ambil contoh kasus nyata: Pamekasan, Madura, 27 April 2025. Tim Reskrim Polres Pamekasan berhasil menangkap seorang pengusaha rokok ilegal asal Desa Bangkes, Kecamatan Kadur. Namun yang terjadi setelahnya lebih layak disebut komedi gelap:
Pelaku dilepas oleh Bea Cukai Madura setelah membayar denda Rp49.147.000.
Ya, dilepas. Karena menurut prosedur, pelaku memilih mekanisme hukum bernama Ultimum Remedium—yakni cukup bayar denda, tanpa konsekuensi pidana.
Begitu ringannya hukum ditegakkan saat pelaku bisa bayar, bahkan ketika negara dirugikan hampir 100 triliun rupiah.
Maka wajarlah jika publik bertanya: ini hukum atau pasar denda? Ini penegakan atau tukar-menukar tarif?
Jika setiap batang disita, tapi akar suplai tetap hidup, ini bukan penegakan hukum—ini hanya teater peringatan.
Para pemainnya berganti, tapi naskahnya tetap sama: pelaku kecil digiring ke depan kamera, pelaku besar tetap merokok dalam gelap.
Ditulis oleh: Z Bahri – Anggota Jong Sumekar