Memecah Kebuntuan
Kalau pengalaman suka debat, saya juga pernah mengalami. Paling suka dan memang terasa sangat seru. Apalagi ketika melihat lawan bungkam atau terpojok, wah tambah semangat dan seakan puas banget.
Tapi itu dulu, sekitar tahun 13-14. Kala itu masih baru keluar dari SMA, masih darah muda dan suka penasaran. Hal baru yang ditemukan dalam pemikiran, jadi dalil kebenaran. Pokoknya orang lain salah. Hanya saya yang Benar! Agama orang lain salah, hanya agama saya yang benar!
Seiring waktu, pikiran saya mulai gusar dengan keyakinan saya sendiri. Semakin jauh mikir, seperti semakin tidak menemukan arah. Bahkan, saya sempat meragukan agama sendiri. Saya sempat bingung mencari kebenaran agama, padahal saya mantan santri, yang setiap hari dijejali ilmu agama.
Dalam kebingungan tersebut, saya berhenti berdebat. Saya mulai menyangsikan orang yang segama dengan saya. Katanya agama paling benar, tapi kok banyak seperti ini, seperti itu, intinya tidak sesuai dengan nilai kemanusiaan dan prinsip-prinsip kebaikan.
Akhirnya, keangkuhanku perlahan meredup, lebih toleran dan lebih suka memahami yang orang lain pahami. Belajar menyamakan cara pandang tanpa harus mengikuti pandangan mereka.
Di titik ini, saya sudah banyak kenal dengan orang yang lain agama dengan saya. Bermacam, mulai dari saudara yang Kristen, Konghucu, Budha bahkan yang paham ajaran kejawen dan paham ajara Romo Sumono di Magelang, Jawa Tengah.
Titik ini pula, saya tanpa sadar banyak belajar ilmu hikmah dari hal yang terjadi. Baik yang dialami diri sendiri atau orang lain.