Oleh : Dhipa Satwika Oey*
Nataindonesia.com • Bandung, 30 Juli 2025 Kongres Ke-XXII GMNI yang seharusnya menjadi panggung luhur bagi dialektika ideologis kini berubah menjadi ladang intrik dan intimidasi. Di balik megahnya aula Hotel Golden Flower, sebuah drama politik gelap tengah dimainkan dimana idealisme dikorbankan demi ambisi pribadi.
Risyad, calon Ketua Umum DPP GMNI, dituding sebagai dalang di balik skenario pecah-belah organisasi. Menurut kesaksian Ketua DPC GMNI Surabaya, Dhipa Satwika Oey, terdapat tekanan sistematis yang dilancarkan agar mendukung pencalonan Risyad dengan ancaman serius, jika menolak ia diancam data base DPC GMNI Surabaya untuk registrasi tidak diserahkan kepada DPP, jika hal ini terjadi maka DPC GMNI Surabaya tidak bisa mengikuti acara Kongres.
“Saat saya hadir di tempat yang ditentukan oleh mereka di kota Jakarta, saya langsung ditekan secara psikologis dan dipaksa menandatangani surat rekomendasi dukungan pencalonan Risyad,” Ujar Dhipa dengan tatapan mata kecewa.
FISIK TAK LAGI TABU, KONGRES JADI AJANG KEKERASAN
Puncak dari konflik terjadi saat Dhipa menjadi korban pemukulan brutal, tak hanya di lobi hotel namun juga di tengah arena kongres. Nama Helvin Rosianda dan Fajar Sholeh disebut sebagai sosok di balik aksi tersebut. Mereka bukan sekadar intimidator verbal, namun mengkoordinasikan kekerasan sistematis terhadap para kader yang berseberangan.
TRAUMA IDEOLOGI, Ruang Kongres Kini Dibanjiri Ketakutan
Yang seharusnya menjadi arena kaderisasi justru menjadi panggung kriminalisasi ide dan pemikiran. Kongres berubah menjadi teater kekuasaan, di mana suara dibeli dan kekerasan dinormalisasi.
SERUAN PERLAWANAN DARI SURABAYA
Dhipa mengeluarkan seruan keras kepada seluruh DPK se-Kota Surabaya dan kader GMNI di Indonesia:
– Tolak segala bentuk kekerasan dan intimidasi!
– Pertahankan independensi cabang dari tekanan struktural!
– Kembali pada nilai Bung Karno: ideologi, integritas, dan keberanian moral!
Secercah Harapan, Nama Sujahri Somar Muncul Sebagai Pemersatu
Di tengah reruntuhan nilai, satu nama bersinar: Sujahri Somar. Dalam pertemuannya dengan Arjuna, ia menunjukkan sikap yang membalikkan arah konflik, menjahit rekonsiliasi bukan demi citra, melainkan demi perjuangan panjang yang lebih bermakna dari sekadar kemenangan sesaat.
GMNI di Persimpangan
Kongres Ke-XXII bukan lagi perayaan demokrasi. Ia kini menjadi kisah gelap tentang bagaimana ambisi dapat meruntuhkan tradisi. Namun, di ujung lorong kelam itu, masih ada nyala api harapan dari kader-kader yang percaya bahwa GMNI adalah tempat lahirnya keberanian, bukan politik busuk.
(Red/Bhr).
*Ketua DPD GMNI Surabaya