ylliX - Online Advertising Network
Fiksi  

Kiswah Alifatul Mizan

Kisah perempuan inspiratif
Foto: Ilustrasi tokoh dalam cerita Kiswah Alifatul Mizan.

Kiswah Alifatul Mizan

Ada orang-orang yang kehadirannya seperti waktu subuh: tenang, lembut, dan tak pernah menuntut untuk dirayakan. Alifatul Mizan, salah satunya—atau yang biasa kupanggil: Alifa.

Ia tidak mencoba menjadi kuat. Ia hanya terus berjalan, seperti air yang mengalir—karena diam terlalu lama bisa melahirkan keruh. Tidak ada pengakuan besar, tidak ada slogan tentang bertahan. Tapi hari-harinya membisikkan yang tak bisa diajarkan buku: ketulusan untuk tetap hidup, meski tak semua hal berjalan sesuai harap.

Aku tidak ingin menyebutnya tangguh, karena Alifa mungkin tidak peduli kata itu. Ia tidak menjadikan hidup sebagai panggung. Ia lebih seperti taman yang jarang dilihat, tapi selalu ada untuk siapa pun yang ingin diam sebentar dan merasa diterima.

Barangkali yang membuatnya tetap utuh bukan karena dunia memperlakukannya baik—justru karena ia belajar tidak selalu menuntut kebaikan dari dunia. Ia punya cara sendiri dalam menyiasati hari: bisa jadi lewat keheningan, atau langkah-langkah kecil yang tidak minta dilihat.

Baca Juga:  Ketika Kopiku Jadi Teh, Part II: Memecah Misteri

Dan dalam keheningan itu, Alifa menenun hal tak terlihat—semacam kesabaran yang tidak keras, tapi dalam. Sejenis keyakinan sunyi, bahwa hidup tak harus sempurna tapi tetap bermakna.

Ada pagi-pagi yang berat, tentu. Ada sore yang membingungkan, jelas! Malam yang membuat diam terasa amat panjang? Apalagi! Tapi Alifa tidak sibuk melawan. Ia mendengarkan hari-harinya, sebagaimana seseorang mendengarkan hujan—tanpa tergesa menafsirkan, hanya hadir sepenuh rasa.

Mungkin itu cara dia mencintai hidup. Bukan dengan melawan, tapi dengan menyertai.

Dan jika nanti dunia lupa mengucapkan terima kasih, aku berharap tulisan ini jadi salah satu bisikannya.

Baca Juga:  Kota Mati-Kehilangan Cahaya Cinta

Catatan: Kiswah adalah kain penutup Kakbah, simbol sakral, pelindung kehormatan dan kemuliaan—bukan berarti menutup-nutupi, tapi merawat sesuatu yang luhur dan tak sembarang mata boleh menghakimi

Penjahit Kiswah

Ia berjalan, tak dengan langkah—tapi dengan desir, seperti bayang bulan yang jatuh ke dalam telaga dan tak memecah apa pun.
Namanya: Alifatul Mizan.

Lembut seperti pagi yang belum dipanggil ayam, diam seperti doa yang hanya ingin didengar oleh langit.

Ia tak bercerita tentang kehilangan,
namun semua yang menatap matanya
seakan tahu: ia pernah ditinggal oleh sesuatu yang tak bisa kembali, dan memilih tidak membenci. Hatinya bukan kaca,
tapi cermin tua— yang telah belajar menerima retakan sebagai bagian dari pantulan.

Ia menyulam kiswah, bukan dari benang emas, tapi dari kesabaran yang tak ingin dipamerkan. Setiap jalinan adalah napas,
setiap tepi adalah luka yang dijahit tak tergesa.

Dan jika kau tanya:
“Siapa Alifatul Mizan?” Maka kau harus menunggu di antara bisu dan angin,
sebab ia hanya muncul di ruang
yang tak meminta
apa pun darinya—selain kehadiran.

Epilog: Surat Sunyi

Alifa,
hidupmu tak perlu dijelaskan. Cukup dijalani seperti yang sudah-sudah:
dengan pelan, tapi penuh. Dengan sunyi, tapi sadar.
Kadang yang kau bawa bukan jawaban, tapi keberanian untuk terus bertanya.
Dan itu sudah lebih dari cukup.
Kalau suatu hari kau ragu, ingatlah: ada orang-orang yang melihatmu bukan karena kau bersinar,
tapi karena kau membuat gelap jadi tidak menakutkan.
Terus hidup, tanpa perlu terburu-buru.
Beberapa taman hanya bisa tumbuh di tanah yang pernah kehilangan.

Penulis: Hasan Zuri.