Rahasia Kotak Chamomile
Malam itu, aku duduk di dapur, menatap kotak kayu kecil yang kini jadi pusat hidupku. Teh celup chamomile di dalamnya seolah mengejekku, mengingatkan pada kata-kata Nyai Roro di pasar pagi tadi.
“Coba buat teh. Sekali aja. Roh dapurnya pengen ngobrol!”
Aku bukan orang yang percaya mistis, tapi setelah kertas misterius, cangkir tertukar, dan nenek dengan syal warna-warni yang tahu terlalu banyak, aku mulai ragu pada logikaku sendiri.
Boni, kucingku, duduk di meja dapur, menatapku dengan mata yang terlalu cerdas untuk seekor kucing. Aku bersumpah dia tahu sesuatu, tapi setiap kali aku tanya, dia cuma menguap atau menjilati cakarnya.
Pagi berikutnya, jam 06:00 WIB, aku berdiri di dapur dengan tekad setengah hati. Cangkir kucingku aku genggam, tapi kali ini bukan untuk kopi. Aku ambil teh celup chamomile dari kotak kayu, memandangnya seperti bom yang bisa meledak kapan saja.
“Baiklah, roh dapur, apa maumu?” gumamku, setengah mengharapkan jawaban dari udara.
Aku panaskan air, masukkan teh celup ke cangkir, dan tuang air panas. Aroma bunga yang kuhindari selama ini memenuhi dapur. Boni mendengkur pelan, seolah menyetujui.
Aku duduk, menyeruput teh dengan muka meringis. Rasanya…, ah, tidak seburuk yang kuingat. Manis, lembut, seperti pelukan dari seseorang yang tidak kukenal. Tapi saat aku meneguk lagi, sesuatu berubah.
Cangkir terasa hangat, terlalu hangat, dan dapur tiba-tiba redup, seperti lampu dapurku memutuskan untuk bermain drama. Aku menoleh ke Boni, yang kini berdiri dengan bulu sedikit berdiri.
“Bon, ini serius, kan?” tanyaku. Dia cuma melotot, lalu melompat ke lantai dan bersembunyi di bawah meja.
Tiba-tiba, kotak kayu di meja bergetar pelan. Aku hampir menumpahkan tehku. Dengan tangan gemetar, aku membukanya. Di dalamnya, bukan lagi teh celup, melainkan sebuah kunci kecil berwarna tembaga, diukir dengan pola daun yang sama seperti kotaknya. Di bawah kunci, ada kertas bertulisan: “Buka pintu belakang. Sekarang. —Pesulap Dapur.” Aku menatap pintu belakang rumahku, yang jarang ku gunakan karena hanya menuju halaman kecil penuh rumput liar. Pintu itu selalu terkunci, dan aku bahkan lupa di mana kuncinya.
Aku bangkit, meraih kunci tembaga, dan mendekati pintu. Boni mengikuti, tapi berhenti beberapa langkah di belakang, seolah berkata, “Kamu sendiri, bro.”
Aku masukkan kunci, dan dengan klik lembut, pintu terbuka. Di luar, bukan halaman berumput yang biasa, tapi… lorong kayu tua, diterangi lampu-lampu kecil yang menggantung seperti kunang-kunang. Aku menggosok mata, yakin aku masih tidur. Tapi lorong itu nyata, dan aroma chamomile tercium samar dari dalam.
Aku melangkah masuk, cangkir teh masih ku genggam seperti tameng. Lorong membawaku ke ruangan kecil yang tampak seperti dapur kuno, penuh panci tembaga, rak berisi rempah, dan meja kayu yang dipenuhi toples-toples aneh.
Di tengah ruangan, Nyai Roro berdiri, masih dengan syal warna-warninya, mengaduk sesuatu dalam panci besar.
“Tepat waktu, Penikmat Kopi!” serunya, tersenyum lebar.
“Aku tahu kamu bakal coba teh.”
“N-Nyai, ini apa?” tanyaku, suaraku bergetar.
“Dan kenapa dapurku punya portal ke… tempat ini?”
Nyai cekikikan, lalu menunjuk panci.
“Ini Dapur Abadi, Nak. Tempat di mana cerita dapur dari setiap rumah tersimpan. Dapurmu spesial karena rohnya, si Chamomile, punya ikatan denganmu. Dia pilih kamu karena kamu keras kepala.” Aku mengerjap,
mencoba mencerna. “Chamomile… roh? Bukan teh?”
“Bukan cuma teh,” kata Nyai, mengambil cangkirku dan menuang isinya ke panci.
Cairan itu berpendar lembut, membentuk bayangan kabut. Dalam kabut, aku melihat gambaran diriku: minum kopi setiap pagi, mengeluh tentang pekerjaan, tapi selalu tersenyum saat melihat Boni.
“Chamomile ingin kamu lihat hidupmu dari sisi lain. Kopi bikin kamu lari, tapi teh bikin kamu diam dan berpikir keras.”
Aku terdiam. Nyai menyerahkan kunci tembaga padaku.
“Ini kunci Dapur Abadi. Kamu bisa kembali kapan saja, tapi hanya kalau kamu mau dengar cerita roh dapurmu. Kalau tidak, dia akan berhenti bikin ulah” selorohnya.
Aku menatap kunci, lalu Nyai, lalu kabut yang kini memudar.
“Dan Boni?” tanyaku, curiga.
Nyai tertawa. “Boni cuma kucing. Tapi dia suka akting misterius.” Aku mendengus, lega tapi tetap kesal.
Saat aku melangkah keluar lorong, aku kembali di halaman belakangku yang biasa. Pintu terkunci, dan kunci tembaga masih di tanganku. Aku masuk rumah, menemukan Boni sudah tidur di sofa, seolah tak terjadi apa-apa. Kotak kayu di meja kini kosong, tapi aroma chamomile masih samar di udara.
Malam itu, aku buat kopi, tapi untuk pertama kalinya, aku juga menyeduh teh di cangkir lain. Aku menyeruput keduanya bergantian, merasa aneh tapi… baik-baik saja. Mungkin Chamomile, roh dapur, atau apa pun itu, punya maksud. Dan mungkin, hanya mungkin, aku akan coba dengar ceritanya lagi suatu hari nanti.
Tamat.