Ketika Kopiku Jadi Teh
Pagi itu, aku menyeret kakiku ke dapur dengan mata setengah terpejam, seperti zombie yang lupa jalan pulang. Jam dinding menunjukkan 06:45, dan otakku masih buffering. Ritual pagiku sederhana: secangkir kopi hitam, tanpa gula, tanpa basa-basi. Kopi adalah nyawaku, penutup celah antara aku dan kegilaan dunia. Tapi hari ini, alam semesta memutuskan untuk main-main denganku.
Aku meraih ketel, menuang air, dan menyalakan kompor dalam mode autopilot. Toples kopi bubuk di meja dapur menatapku penuh harap. Aku buka tutupnya, menghirup aroma pahit yang bikin jantungku berdetak lagi, lalu menaburkan dua sendok ke cangkir favoritku—cangkir kucing dengan ekspresi menggemaskan. Air mendidih, aku tuang perlahan, aduk-aduk, dan siap. Cess …!!! Pagi ini seharusnya aman.
Tapi saat tegukan pertama menyentuh bibirku, rasanya… salah. Bukan pahit kopi yang kukenal, melainkan manis bercampur aroma bunga yang asing. Aku mengerjap, menatap cangkir dengan curiga.
“Ini apa?!” gumamku. Aku cium lagi, dan bau teh chamomile menyerang hidungku.
Chamomile! Aku benci teh! Terakhir kali aku minum teh, aku masih pakai seragam SD, dipaksa Tante Rina di arisan keluarga.
Aku cek toples kopi—tetap kopi bubuk, bukan daun teh. Aku cek ketel—cuma air biasa. Aku bahkan membongkar laci dapur, mencari tanda-tanda sabotase. Kosong!
“Ini pasti ulah si Boni,” batinku, melotot ke arah kucingku yang sedang molor di sofa. Tapi Boni cuma kucing, bukan mastermind kriminal 😭
Dengan semangat detektif amatir, aku buat kopi lagi. Kali ini, aku fokus penuh, seperti sedang merakit bom. Aku tuang air, aduk, cium aroma kopi yang jelas-jelas kopi. Tapi begitu aku minum—chamomile lagi!
Aku hampir melempar cangkir. “Apa aku dikutuk?!” teriakku, membuat Boni melompat kaget dan menatapku dengan ekspresi, “Manusia, chill.”
Aku duduk, mencoba berpikir logis. Mungkin adikku, Rara, yang tinggal serumah tapi jarang kelihatan, punya andil. Aku kirim pesan: “Ra, kamu ngapain sama kopiku?!” Balasannya cuma emoji tertawa.
Keren! sekarang aku resmi paranoid.
Saat aku hendak menyerah dan menerima nasib sebagai penikmat teh, ponselku berbunyi. Pesan dari Rara.
“Kak, maaf ya, aku ganti cangkir kucingmu sama punyaku. Aku taruh teh chamomile di situ semalam. Lupa bilang. Hehe.”
Aku menatap cangkir di tanganku. Benar, ini bukan cangkirku! Pola kucingnya mirip, tapi ekornya lebih panjang. Aku buru-buru cek lemari, dan di sana cangkirku yang asli bersemayam dengan kopi dingin yang aku buat tadi. Aku minum, dan oh, surga! Rasa pahit kopi memelukku seperti sahabat lama.
Aku menarik napas lega, berpikir masalah selesai. Tapi saat aku hendak menegur Rara, aku perhatikan sesuatu di meja dapur. Toples kopi bubukku… tutupnya sedikit terbuka.
Aku angkat, dan di dalamnya, di antara butir-butir kopi, terselip sehelai kertas kecil bertulisan tangan: “Selamat mencoba, Penikmat Kopi. —Tukang Sulap Dapur.”
Aku membeku. Rara sedang kuliah di luar kota sejak kemarin, dan aku tinggal sendiri. Boni, yang sekarang menatapku dari sofa, tiba-tiba mengedipkan mata—atau aku cuma berhalusinasi?
Aku menatap toples lagi, dan kertas itu… hilang. Aku cuma bisa menggenggam cangkirku erat-erat, bersumpah tak akan pernah lengah lagi. Kopiku adalah bentengku, dan dapur ini, rupanya, punya rahasia sendiri.
Bersambung.
Jika suka dengan cerita di atas, Lanjut baca Part II untuk mengungkap Misteri Dapur