Nataindonesia.com — Kabupaten Sumenep tampaknya sedang naik kelas. Dulu hanya kebanjiran air, kini kebanjiran proyek. Salah satunya Proyek Pengendalian Banjir di Dusun Toros, Desa Babbalan, Kecamatan Batuan. Dengan suntikan dana miliaran rupiah, proyek ini menjanjikan pengendalian banjir. Hasilnya? Air tetap mengalir, tapi kali ini membawa serta harapan warga yang ikut tergerus.
Hujan deras pada 13 Mei 2025 membuktikan bahwa air masih menjadi penguasa jalanan Sumenep. Jalan utama antarprovinsi di Desa Patean sampai ditutup. Kota pun disulap menjadi kanal dadakan. Inilah yang disebut transformasi kota tanpa perlu studi banding ke Venesia.
Sementara itu, warga di Desa Babbalan merasakan “kemajuan” secara langsung. Genangan air dan lumpur mendadak hadir, membawa serta aroma pembangunan. Bahkan garasi rumah roboh ikut menyambut banjir. Sebuah pengalaman baru bagi desa yang selama ini damai-damai saja dengan hujan.
Ayung Krisnandi, warga setempat, mengaku terkejut. Seumur hidup tinggal di sana, baru kali ini kampungnya banjir. Tentu saja, karena dulu belum ada pembangunan tebing sungai dan Rumah Sakit BHC yang berdiri gagah hanya tiga meter dari bibir sungai. Sebuah jarak yang sangat ideal — jika yang dibangun adalah tempat cuci motor.
“Dari dulu tidak pernah terjadi banjir di sini,” kata Ayung. Tapi sejak rumah sakit dibangun, air seolah-olah menemukan panggilan hidup baru: menyapa warga sampai ke dalam rumah.
Proyek Banjir: Antara Drainase dan Drama
Sebenarnya, warga tak sendirian. Aktivis dan anggota dewan pernah bersuara, bahkan sebelum rumah sakit berdiri. Mereka sempat bilang bahwa proyek ini berpotensi melanggar aturan zonasi. Tapi tentu saja, pembangunan tetap berjalan. Karena kalau semua harus sesuai aturan, kapan kita bisa punya proyek?
Audiensi, demo, kritik—semuanya telah dilakukan. Tapi sungguh, apa arti semua itu di hadapan ekskavator dan kontrak miliaran?
Proyek Pengendalian Banjir ini sendiri dibiayai dengan dana yang luar biasa mencengangkan: lebih dari Rp25 miliar dari APBN dalam dua tahap. Tahun pertama digarap CV Cendana Indah. Tahun kedua, giliran PT Diatas Jaya Mandiri yang beraksi. Hasilnya? Air tetap mengalir. Jalan rusak. Rumah retak. Mungkin banjirnya malu kalau harus menyingkir begitu saja setelah melihat megahnya pembangunan.
Kini, warga Babbalan harus terbiasa dengan suara pompa air setiap musim hujan. Tujuh pompa dikerahkan bukan untuk proyek industri, tapi demi menjaga agar rumah tidak berubah fungsi jadi kolam renang.
“Sebelumnya tidak pernah banjir, sekarang lumpur naik, jalan rusak,” kata Ayung. Sebuah kalimat sederhana yang bisa saja dicetak di spanduk penyambutan: Selamat Datang di Babbalan, di mana proyek hadir, dan banjir tak lagi malu-malu. (Redaksi)