Oleh: Fahrur Rozi*
Kekerasan terhadap perempuan bukanlah persoalan yang semata-mata terjadi di ranah privat atau intern, melainkan merupakan cerminan dari struktur kekuasaan dan budaya patriarki yang telah mengakar. Hadirnya tulisan ini sebagai bentuk penolakan keras dan mengupas persoalan tersebut dengan mengaitkan pemikiran filsafat, prinsip keadilan dalam hukum, dan nilai-nilai spiritual Islam sebagai pijakan dalam merumuskan respons yang tegas dan bijak terhadap praktik-praktik kekerasan yang merugikan.
Renungan Filsafat, Kekuatan, Dominasi, dan Otoritas
Michel Foucault mengajarkan kita bahwa kekuasaan bukanlah sekadar otoritas yang tampak, melainkan terjalin dalam jaringan norma dan praktik sosial. Jelas, secara jabariahnya kekerasan terhadap perempuan, tindakan agresi yang dilakukan oleh laki-laki merupakan manifestasi dari dominasi yang melekat dalam struktur sosial suatu perwujudan kegagalan untuk menyelesaikan konflik melalui legitimasi dan dialog. Demikian pula, Hannah Arendt membedakan antara kekuasaan yang sah dan kekerasan sebagai upaya paksa yang mengikis fondasi kepercayaan sosial. Dengan demikian, kekerasan bukanlah respon yang membangun, tapi bagian cerminan kegagalan dalam menegakkan otoritas yang adil dan rasional.
Memaknai Keadilan, Sebagai Landasan Kasih Sayang dalam Islam
Dalam tradisi Islam, nilai keadilan (‘adl) dan kasih sayang (rahmah) memegang peranan penting dalam mengatur hubungan antar manusia. Ajaran Islam menuntut setiap individu untuk saling menghormati dan melindungi, sehingga interpretasi terhadap ayat-ayat yang kerap disalahgunakan untuk membenarkan kekerasan perlu dikaji ulang. Hadis-hadis yang menampilkan kasih sayang Rasulullah ﷺ terhadap keluarganya menjadi bukti nyata bahwa Islam tidak pernah merestui bentuk kekerasan dalam rumah tangga. Pemikiran ulama kontemporer dan para cendekiawan menegaskan bahwa penafsiran kontekstual terhadap teks suci harus selalu berpijak pada prinsip keadilan dan kemanusiaan.
Telaah Hukum, Tantangan Reformasi dan Implementasi Keadilan
Tampaknya dari sisi hukum, banyak regulasi telah dirancang untuk menindak kekerasan terhadap perempuan. Namun, realitas implementasinya sering kali terhambat oleh bias struktural dan stereotip gender. Teori keadilan ala John Rawls mengingatkan bahwa sistem hukum harus mampu melindungi mereka yang paling rentan. Kesenjangan antara legislasi dan praktik di lapangan mencerminkan perlunya reformasi mengakar, yang tidak hanya bertumpu pada ranah hukum positif, tetapi juga dalam cara kita memandang dan menata tatanan sosial agar senantiasa berlandaskan keadilan yang substansial.
Menghapus kekerasan terhadap perempuan menuntut transformasi menyeluruh, di mana norma-norma sosial, interpretasi keagamaan, dan sistem hukum diselaraskan untuk menciptakan lingkungan yang adil dan bermartabat. Pemikiran filsafat yang kritis, prinsip-prinsip keadilan dalam hukum, serta nilai-nilai kasih sayang dalam Islam, bersama-sama menawarkan kerangka pemikiran untuk menolak segala bentuk penindasan. Hanya dengan komitmen komunal untuk mereformasi struktur kekuasaan dan budaya patriarki, kita dapat menyongsong era keadilan yang sesungguhnya, di mana perempuan dihargai sebagai subjek penuh hak dan martabat. (*)
*Penulis merupakan salah satu jurnalis di media online yang ada di Indonesia.