Oleh: Abdul Warits*
Nataindonesia.com – Tahun Baru Islam yang diperingati setiap 1 Muharram mengandung makna spiritual dan historis, terutama ketika dikaitkan dengan peristiwa hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah.
Hijrah bukan hanya perpindahan fisik, melainkan juga transformasi sosial, politik, dan kultural menuju masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan berkeadaban. Dalam konteks keindonesiaan, Tahun Baru Islam menjadi momen reflektif untuk menakar sejauh mana semangat hijrah telah terinternalisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Semangat hijrah kebangsaan di tahun baru Islam merupakan simbol peralihan dari kondisi terpinggirkan menuju tatanan masyarakat yang inklusif, saling menghargai, dan membangun peradaban bersama. Dalam konteks Indonesia masa kini, semangat hijrah sangat relevan sebagai dorongan moral dan sosial untuk keluar dari kungkungan eksklusivitas kelompok menuju keterbukaan sebagai bangsa.
Peristiwa hijrah mengajarkan bahwa perubahan besar selalu dimulai dari keberanian untuk meninggalkan zona nyaman dan menghadapi tantangan demi visi yang lebih besar. Nabi Muhammad SAW dan para sahabat rela meninggalkan tanah kelahiran, harta, bahkan keluarga demi menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Ini adalah pelajaran penting bagi kita semua, bahwa setiap individu memiliki peran dalam membangun masyarakat yang lebih baik.
Tantangan kebangsaan yang menggurita hari ini adalah eksklusivitas komunal yaitu sikap yang mengutamakan kepentingan golongan, suku, agama, atau kelompok tertentu dengan mengabaikan kepentingan bersama. Sikap ini memunculkan polarisasi sosial, memperkuat stereotip, dan menimbulkan konflik identitas yang dapat mengancam integrasi nasional. Di tengah kemajemukan Indonesia, eksklusivitas menjadi hambatan utama bagi terciptanya keadilan sosial dan harmoni antarwarga negara.
Kita menyaksikan bagaimana politik identitas, fanatisme kelompok, dan sentimen sektarian masih menghiasi panggung sosial dan politik bangsa. Dalam ranah pendidikan, keagamaan, dan media sosial, tidak jarang kita melihat kecenderungan untuk menghakimi kelompok lain dan menutup diri dari perbedaan. Ketika eksklusivitas menguat, nasionalisme melemah.
Sebaliknya, inklusivitas nasional adalah sikap terbuka yang mengakui dan menghargai keragaman sebagai kekayaan bangsa. Inklusivitas tidak berarti meniadakan identitas kelompok, tetapi menyatukannya dalam semangat kebangsaan yang lebih besar. Dalam kerangka ini, perbedaan bukan ancaman, melainkan peluang untuk saling belajar, memperkaya perspektif, dan membangun solidaritas.
Hijrah menuju inklusivitas nasional berarti membuang sikap elitis dan merasa paling benar atas dasar identitas tertentu. Ia mengajak setiap warga negara untuk duduk setara dalam satu meja kebangsaan, mendengarkan satu sama lain, dan bekerja sama untuk kepentingan bersama. Sikap ini sejalan dengan nilai-nilai Pancasila dan semangat Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi fondasi negara.
Dalam konteks bangsa, hijrah bisa dimaknai sebagai proses transisi dari sikap eksklusif, intoleran, dan egois menuju karakter bangsa yang inklusif, toleran, dan penuh semangat gotong royong. Nilai-nilai hijrah mendorong kita untuk meninggalkan pola pikir sempit dan primordial menuju semangat kebangsaan yang utuh. Artinya, kita perlu terus melakukan hijrah dari fanatisme golongan menuju kepentingan nasional, dari konflik menuju harmoni, dan dari saling curiga menuju saling percaya.
Tahun Baru Islam dapat menjadi titik tolak introspeksi bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan globalisasi, digitalisasi, dan derasnya arus informasi. Di tengah krisis kepercayaan, degradasi moral, serta polarisasi sosial-politik, semangat hijrah harus menjadi kompas moral dan kultural untuk membangun Indonesia yang adil, makmur, dan bermartabat.
Hijrah kebangsaan meniscayakan perubahan sistemik dan kultural. Dalam bidang pendidikan, misalnya, diperlukan hijrah dari pendidikan yang berorientasi pada angka menuju pendidikan yang membentuk karakter dan cinta tanah air. Di bidang ekonomi, hijrah berarti membangun sistem yang menyejahterakan seluruh rakyat, bukan hanya segelintir elite. Dalam aspek politik, hijrah adalah membangun etika dan integritas, menjauhi politik uang dan hoaks.
Yang paling utama, hijrah kebangsaan berarti membumikan nilai-nilai Islam yang rahmatan lil alamin dalam praktik kehidupan berbangsa. Agama bukan dijadikan alat politik identitas, tapi sebagai inspirasi untuk menebarkan perdamaian, keadilan, dan solidaritas. Perubahan menuju inklusivitas tidak bisa terjadi tanpa peran aktif generasi muda, tokoh agama, pendidik, dan lembaga negara. Kaum muda harus menjadi pelopor dialog lintas identitas, memanfaatkan ruang digital untuk menyebarkan narasi kebangsaan yang positif dan mendorong kolaborasi antarkelompok.
Lembaga pendidikan harus menjadi ruang perjumpaan budaya, bukan tempat yang memperkuat sekat sosial. Begitu pula, lembaga keagamaan memiliki peran strategis dalam menanamkan ajaran kasih, toleransi, dan ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) sebagai nilai spiritual yang membumi. Hijrah dari eksklusivitas komunal menuju inklusivitas nasional adalah proses transformatif yang memerlukan keberanian, kesadaran, dan komitmen bersama. Di tengah tantangan zaman seperti radikalisme, intoleransi, dan disintegrasi sosial, semangat hijrah harus diwujudkan dalam sikap sehari-hari: membuka diri, berdialog, dan merawat persatuan.
Hijrah bukan sekadar peristiwa sejarah, melainkan ajakan abadi untuk selalu bergerak ke arah yang lebih baikdari sempitnya kelompok menuju luasnya kebangsaan, dari kami dan mereka menuju kita. Dengan demikian, hijrah menjadi energi kebangsaan yang mampu mendorong Indonesia menuju masa depan yang lebih cerah, adil, dan bermartabat.
*Aktivis Gusdurian Sumenep, sekaligus menjabat sebagai Staf Humas di Universitas Annuqayah