Ghana Diambang Kehancuran, Keuangan Krisis, Rakyatnya Susah Cari Kerja

Nata Indonesia – Sulitnya mendapatkan lapangan pekerjaan, krisis pangan, hutang negara yang kian tinggi, hingga krisis keuangan ekonomi membuat Negara Ghana diambang resesi kehancuran.

Menurut sebuah laporan dari The New York Times, pemerintah Ghana telah menghadapi kesulitan keuangan dan menyatakan kebangkrutan karena gagal melakukan pembayaran miliaran dolar yang terutang kepada kreditor.

Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam menanggapi situasi ini, pemerintahan Presiden Nana Akufo-Addo harus menerima pinjaman $3 miliar dari Dana Moneter Internasional (IMF), yang sering dilihat sebagai upaya terakhir untuk dukungan keuangan.

Baca Juga:  Aktor Pembuka Konflik dan Sejarah Panjang Israel Palestina

Menyoroti krisis keuangan yang parah di Ghana, badan-badan pemerintah memiliki hutang besar kepada kontraktor dan krisis utang yang berkembang.

Emmanuel Cherry, CEO dari sebuah asosiasi yang mewakili perusahaan konstruksi di Ghana, seperti dilansir dari media qonversations.world mengungkapkan bahwa pemerintah berutang kepada kontraktor sebesar 15 Miliar Cedi yang menakjubkan, yaitu sekitar $1,3 Miliar, tanpa memperhitungkan bunga.

Baca Juga:  Prediksi Korea Selatan Akan Bubar: Sebuah Analisis

Adanya beban hutang yang tinggi tersebut sangat berdampak luas terhadap perekonomian di Ghana, termasuk PHK oleh banyak kontraktor, memperburuk masalah hingga menyebabkan banyaknya pengangguran di negara itu.

Selain itu, pemerintah Ghana juga telah dilaporkan berutang kepada produsen listrik independen sebesar $1,58 miliar, dan ada ancaman yang membayangi dari pemadaman listrik nasional.

Laporan tersebut mencirikan pemerintah pada dasarnya bangkrut dan mencatat bahwa ini menandai ke-17 kalinya Ghana harus beralih ke IMF untuk meminta bantuan sejak mendapatkan kemerdekaan pada tahun 1957.

Baca Juga:  Indonesia Resmi Anggota BRICS, Perlahan Melepas Cengkraman Dollar

Krisis saat ini sebagian disebabkan oleh dampak pandemi COVID-19, invasi Rusia ke Ukraina, kenaikan harga makanan dan bahan bakar, dan salah urus pemerintah.

Beban utang yang meningkat bagi negara-negara berkembang, yang diperkirakan melebihi $200 miliar, adalah topik diskusi yang menonjol di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-78. (rasadi/red)