Dana Mengalir, Tapi Warga Tak Lagi Menabung
Nataindonesia.com – Di tengah narasi besar tentang pertumbuhan ekonomi nasional, desa-desa di Indonesia justru tengah mengalami kemunduran. Data Survei Konsumen dan Perekonomian LPS per Mei 2025 memampang kenyataan pahit: ekonomi rumah tangga pedesaan melemah, dan daya simpan masyarakat nyaris hilang.
Indeks Menabung Konsumen (IMK) kelompok pendapatan ≤ Rp1,5 juta/bulan—yang mayoritas berada di wilayah pedesaan—anjlok 12,5 poin, penurunan terdalam dibanding kelompok pendapatan lainnya. Ini menandakan bukan hanya menipisnya penghasilan, tapi juga lenyapnya cadangan harapan untuk hari esok.
Tak berhenti di situ. Data juga menunjukkan bahwa 30,3% responden kini tidak pernah menabung, meningkat dari 29,3% di bulan sebelumnya. Tambah lagi, 56,7% dari mereka mengaku menabung lebih kecil dari rencana, imbas dari naiknya pengeluaran rumah tangga. Dan yang lebih menyedihkan: pengeluaran itu bukan untuk konsumsi mewah, tapi untuk biaya pendidikan, cicilan, dan kebutuhan pokok.
Desentralisasi: Proyek Mengalir, Daya Tak Tumbuh
Ironisnya, semua ini terjadi di era desentralisasi dan Dana Desa. Setiap tahun, dana triliunan rupiah dikucurkan ke desa-desa, namun indikator ekonomi mikro rumah tangga tak kunjung membaik. Mengapa?
Karena desentralisasi yang dijalankan hanya menyentuh permukaan. Ia berhenti pada serapan anggaran dan proyek infrastruktur fisik—rabat beton, gorong-gorong, dan kantor desa—namun tak menyentuh urat nadi ekonomi rakyat: produksi pangan, pemasaran hasil tani, dan distribusi modal usaha.
Warga desa membangun jembatan, namun hidup mereka tetap menggantung kepada tengkulak. Mereka mendapat jalan baru, tapi tetap tak punya akses ke pasar adil. Mereka punya kantor desa baru, tapi tak bisa bayar sekolah anaknya tanpa berutang.
Ekonomi Tanpa Cadangan, Masa Depan Tanpa Jaminan
Yang terjadi di desa-desa hari ini bukan sekadar kemiskinan musiman, tapi spiral pelemahan struktural. Ketika tabungan habis untuk cicilan, ketika tak ada buffer menghadapi gagal panen atau cuaca ekstrem, ketika pendapatan tak pernah utuh karena biaya hidup terus naik—maka masyarakat desa dipaksa hidup dari bulan ke bulan, tanpa ruang bernapas.
Banjir, kenaikan harga sembako, dan naiknya biaya pendidikan hanya memperparah luka yang sudah terbuka. Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) kelompok pendapatan bawah pun ikut terperosok, menandakan tak hanya uang yang hilang—tapi keyakinan akan masa depan.
Kegagalan Sistemik atau Kelalaian Berulang?
Apakah ini berarti desentralisasi ekonomi desa gagal total? Tidak sepenuhnya. Namun jelas: tanpa transfer kewenangan ekonomi yang nyata, bukan hanya anggaran, desentralisasi hanya menjadi ritual birokrasi tahunan.
Yang dibutuhkan desa:
- Bukan hanya dana, tapi kebebasan merancang ekonomi sesuai konteks lokal
- Bukan hanya proyek fisik, tapi program pemberdayaan produksi dan distribusi
- Bukan hanya pengawasan formal, tapi pendampingan nyata dalam membangun pasar lokal
Tanpa itu semua, desa akan terus bertahan, tapi tidak pernah tumbuh. Dan sebuah bangsa yang membiarkan pedesaannya terpuruk, sejatinya sedang mencabut akar hidupnya sendiri.
Laporan: Zenitiya | Editor: Zaiful Bahri