Musim Pencitraan sedang Melanda …
Catatan: Nur Khalis, Jurnalis Kompas TV
Pikiran tidak bisa diatur oleh kenyataan. Kadang, dalam waktu yang tidak tepat, pikiran seseorang mampu membuat sekian kesimpulan, yang jika diutarakan, akan menyebabkan perbedaan, perseteruan dan bahkan kerusakan.
Akan tapi, saat pikiran tidak bisa diatur, semestinya hal itu kita rayakan. Caranya adalah dengan menyiapkan ruang apresiasi secukupnya untuk setiap argumentasi, perspektif, dan keinginan yang tentunya akan beragam. Dalam kalimat yang sederhana, bersikap sopan pada segala jenis pandangan, adalah bentuk kedewasaan.
Weekend kemarin, di toko klontong yang tidak jauh dari rumah, saya bertemu seorang kawan. Kami berbincang hal-hal yang aktual. Termasuk caleg, balihonya dan perbuatan baik mereka yang dia dicurigai akan merugikan negara di kemudian hari.
Di awal berbincang, kami sepakati beberapa hal. Misalnya, Indonesia sedang menghadapi musim yang sama. Dari Sabang sampai Merauke, ujung timur Indonesia, musim pencitraan sedang melanda.
Yang berbeda, menurut kami berdua, hanya modifikasi pencitraannya saja. Misalnya, yang kristen tidak mungkin dihibahi al-Quran, dan yang Islam tidak akan disedekahi salib. Tidak mungkin.
Pertanggal 28 November 2023, kampanye serentak sudah dimulai. Di Kabupaten Sumenep, sejumlah baliho kampanye caleg yang sempat diakali, untuk menghindari penertiban, kini sudah tidak sendirian. Sudah berdiri baliho-baliho lain sebagai saingan.
Setiap kali melihat baliho, kawan saya selalu berkesimpulan bahwa para caleglah yang menjadi biang kerok rusaknya kebaikan. Buktinya, setiap perbuatan baik kita, akhir-akhir ini, akan dicurigai sebagai gerakan sogok, mewakili caleg.
“Aku ingat sekali ungkapan di salah satu kaos orang: teruslah berbuat baik. Sampai orang mengira kamu nyaleg.”
Menurut kawan saya, ungkapan itu sangat sarkastik, tidak beradab dan menjengkelkan. Sebab, kehadirannya telah merusak konstruksi kebenaran yang selama ini dia percayai.
Kebaikan, ditangan seorang caleg, tak ubahnya sekedar rongsokan untuk menyempurnakan gimmick. Kebaikan seperti menjadi sapi perah, yang dijungkir-balikkan sedemikian rupa hanya demi tujuan yang biasanya pada akhirnya mengecewakan.
Ditambah lagi, lanjut kawan saya, para caleg juga tidak ada yang membantah itu. Mereka tetap berbuat baik menjelang pemilu. Dan ketika terpilih, mereka juga (diduga) tidak bertanggung jawab dengan jabatan politiknya.
Contoh sederhana. Setiap kali melihat baliho, kawan saya mengaku tidak tahu mana caleg baru dan caleg patahana. Sebab isi baliho mereka hanya ajakan semata. Egois dan narsis. Tidak satu pun dari mereka, khususnya patahana, yang berani “memamerkan” hasil kerja dan kebijakannya.
“Saat tidak ada hasil kerja yang ditunjukkan. Kan bisa jadi selama terpilih, tidak ngapa-ngapain kan?”
Mendengar itu, seperti biasa saya hanya memilih diam. Sambil lalu saya mengingat beberapa kawan dewan yang satset dalam ucapan. Namun tidak tercermin dalam perbuatan.
Saya juga teringat beberapa kawan dewan yang selalu mengawali pertemuan dengan senyuman. Namun, jika kita terima dengan baik, sungguh membahayakan.
NK Gapura,
Gapura, 5 Desember 2023