Nataindonesia.com – Pada Mei 2025, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Indonesia menanggapi usulan dari pelaku industri kripto untuk menjadikan Bitcoin sebagai bagian dari cadangan aset negara. OJK menyatakan bahwa usulan tersebut mencerminkan antusiasme terhadap pengembangan ekosistem keuangan digital nasional, namun menekankan pentingnya kehati-hatian dan mitigasi risiko dalam mempertimbangkan aset kripto sebagai bagian dari portofolio negara.
Penolakan ini menyoroti pertanyaan mendasar: Apa yang sebenarnya dimaksud dengan ‘aset’ dalam konteks ekonomi digital saat ini?
Konsep Aset dalam Era Digital
Secara tradisional, aset negara terdiri dari cadangan devisa seperti emas dan mata uang asing yang dianggap stabil dan dapat diandalkan. Namun, dengan munculnya teknologi blockchain dan aset digital seperti Bitcoin, definisi aset mengalami perluasan. Bitcoin, dengan sifat desentralisasi dan pasokan terbatasnya, telah dianggap oleh sebagian pihak sebagai “emas digital” dan potensi penyimpan nilai jangka panjang.
Namun, volatilitas harga yang tinggi dan kurangnya dukungan institusional membuat banyak otoritas moneter, termasuk OJK, ragu untuk mengakui Bitcoin sebagai aset cadangan resmi.
Pendekatan Negara Lain terhadap Bitcoin
Beberapa negara telah mengambil langkah berbeda dalam menyikapi Bitcoin:
El Salvador: Pada 2021, El Salvador menjadi negara pertama yang mengadopsi Bitcoin sebagai alat pembayaran sah. Pemerintah setempat bahkan membeli Bitcoin sebagai bagian dari cadangan nasional. Namun, adopsi ini menghadapi tantangan, termasuk volatilitas harga dan skeptisisme publik.
Amerika Serikat: Beberapa negara bagian, seperti Texas dan New Hampshire, telah mengusulkan pembentukan cadangan Bitcoin sebagai strategi diversifikasi aset. Langkah ini mencerminkan meningkatnya penerimaan terhadap aset digital di tingkat subnasional.
Jepang dan Korea Selatan: Kedua negara ini mengakui Bitcoin sebagai aset legal dan mengatur penggunaannya dalam transaksi, meskipun belum menjadikannya sebagai bagian dari cadangan nasional.
Pertimbangan OJK dan Tantangan Regulasi
OJK menekankan bahwa meskipun ada potensi dalam aset digital, penting untuk memastikan adanya tata kelola yang transparan dan mitigasi risiko yang tepat sebelum mempertimbangkan Bitcoin sebagai bagian dari cadangan negara. Risiko yang dimaksud termasuk volatilitas harga, potensi penggunaan untuk aktivitas ilegal, dan kurangnya kerangka regulasi yang komprehensif.
Selain itu, literasi keuangan dan digital yang masih rendah di Indonesia menjadi tantangan tambahan dalam mengadopsi aset digital secara luas.
Sikap Tegas Indonesia pada Bitcoin
Penolakan OJK terhadap usulan menjadikan Bitcoin sebagai cadangan aset negara mencerminkan pendekatan yang berhati-hati dalam menghadapi inovasi keuangan digital. Meskipun beberapa negara telah mengambil langkah progresif dalam mengadopsi Bitcoin, penting bagi Indonesia untuk mempertimbangkan kesiapan infrastruktur, regulasi, dan literasi masyarakat sebelum mengikuti jejak tersebut.
Pertanyaan yang muncul adalah: Apakah Indonesia akan tetap mempertahankan pendekatan konservatif atau mulai mengeksplorasi potensi aset digital dalam strategi keuangan nasionalnya?