ylliX - Online Advertising Network

Bitcoin: Aset, Komoditas, atau Mata Uang? Ini Bedanya!

Ilustrasi Bitcoin dengan tanda penolakan berwarna merah, di depan siluet gedung keuangan Indonesia dan sosok pria bersetelan jas mewakili OJK, menggambarkan sikap tegas terhadap usulan menjadikan Bitcoin sebagai cadangan aset negara.
Foto: Ilustrasi Bitcoin dengan tanda penolakan berwarna merah, di depan siluet gedung keuangan Indonesia dan sosok pria bersetelan jas mewakili OJK, menggambarkan sikap tegas terhadap usulan menjadikan Bitcoin sebagai cadangan aset negara.

Nataindonesia.comBitcoin sering disebut sebagai aset digital. Tapi kadang ia juga digolongkan sebagai komoditas, bahkan dianggap mata uang oleh sebagian orang. Lalu, mana yang benar?

Pertanyaan ini bukan cuma membingungkan investor pemula. Di tingkat global pun, para regulator, ekonom, dan pengambil kebijakan belum sepenuhnya sepakat soal status Bitcoin. Apakah ia alat tukar seperti uang? Ataukah hanya instrumen investasi digital semata?

Untuk memahami itu, kita perlu meninjau Bitcoin dari tiga sisi: sebagai aset, sebagai komoditas, dan sebagai mata uang. Masing-masing pendekatan ini punya dampak besar—bukan hanya bagi investor, tapi juga bagi arah regulasi di masa depan.

Bitcoin sebagai Aset

Dalam dunia keuangan, aset adalah segala sesuatu yang memiliki nilai dan dapat dimiliki atau dikendalikan untuk menghasilkan keuntungan di masa depan. Emas, saham, properti — semuanya masuk kategori aset. Lalu, di mana posisi Bitcoin?

Banyak investor menganggap Bitcoin sebagai “store of value“, yaitu penyimpan nilai seperti emas. Karena jumlahnya terbatas (maksimal 21 juta), Bitcoin dinilai punya kelangkaan yang bisa menjaga nilainya dari waktu ke waktu. Inilah mengapa muncul istilah “emas digital”.

Baca Juga:  Mengenal Ekonomi Sirkular dan Manfaatnya

Beberapa negara pun sudah mengadopsi pendekatan ini. Misalnya, Jerman mengategorikan Bitcoin sebagai “unit of account” dan aset pribadi, yang artinya legal untuk disimpan dan digunakan dalam transaksi tertentu.

Dari sudut pandang investor, status ini membuat Bitcoin menarik untuk disimpan dalam jangka panjang. Namun, sebagai aset, Bitcoin tetap menghadapi risiko volatilitas harga yang tinggi — sebuah tantangan yang membedakannya dari aset konvensional seperti obligasi atau properti.

Bitcoin sebagai Komoditas

Di Indonesia, status hukum Bitcoin jelas: ia adalah komoditas digital, bukan alat tukar. Penetapan ini dikeluarkan oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti), yang mengatur perdagangan aset kripto dalam kerangka pasar berjangka.

Komoditas sendiri merujuk pada barang yang dapat dipertukarkan dan diperdagangkan, biasanya dalam bentuk bahan mentah seperti emas, minyak, atau gandum. Bitcoin, meskipun digital, diperlakukan serupa karena nilainya fluktuatif dan diperdagangkan di berbagai bursa aset kripto.

Dengan pendekatan ini, pemerintah Indonesia dapat mengatur perdagangan Bitcoin secara legal, namun tidak mengakuinya sebagai alat pembayaran sah. Artinya, Anda bisa membeli Bitcoin sebagai instrumen investasi, tetapi tidak bisa menggunakannya untuk membeli barang di toko secara sah menurut hukum.

Baca Juga:  Tok! MK Resmi Hapus Ambang Batas 20% Calon Presiden

Model ini juga diadopsi oleh negara-negara lain seperti Amerika Serikat, yang melalui Commodity Futures Trading Commission (CFTC) menganggap Bitcoin sebagai komoditas, bukan sekadar mata uang atau sekuritas.

Bitcoin sebagai Mata Uang

Sejak awal kelahirannya pada 2009, Bitcoin dirancang sebagai sistem pembayaran peer-to-peer—artinya, secara teknis, ia adalah mata uang digital. Bahkan istilah “crypto-currency” secara harfiah berarti mata uang kripto.

Namun dalam praktiknya, status Bitcoin sebagai alat pembayaran sangat terbatas. Hanya sedikit negara yang mengakuinya secara resmi. Salah satunya adalah El Salvador, yang pada 2021 menetapkan Bitcoin sebagai legal tender—setara dengan mata uang nasional.

Meski begitu, banyak negara, termasuk Indonesia, menolak pendekatan ini. Bank Indonesia dengan tegas menyatakan bahwa satu-satunya alat pembayaran sah di wilayah NKRI adalah rupiah. Penggunaan Bitcoin sebagai alat transaksi dianggap ilegal.

Baca Juga:  Monopoli Perbankan dan Perbudakan Modern

Alasannya cukup masuk akal: volatilitas harga Bitcoin menyulitkan stabilitas moneter. Bayangkan jika harga kopi pagi Anda bisa berubah drastis hanya karena pasar kripto goyah semalam. Inilah tantangan utama jika Bitcoin dianggap sebagai mata uang dalam sistem keuangan resmi.

perbandingan regulasi Bitcoin di beberapa negara, menampilkan kategori status hukum seperti legal tender, komoditas, atau dilarang; Indonesia ditandai dengan status “tidak diakui sebagai alat pembayaran resmi”.
Foto: Perbandingan regulasi Bitcoin di beberapa negara, menampilkan kategori status hukum seperti legal tender, komoditas, atau dilarang; Indonesia ditandai dengan status “tidak diakui sebagai alat pembayaran resmi”.

Bitcoin, Tiga Wajah, Satu Pertanyaan Besar

Apakah Bitcoin aset, komoditas, atau mata uang? Jawabannya: bisa semua, tergantung dari sudut pandang siapa yang melihat dan dalam konteks apa.

Untuk investor, Bitcoin adalah aset digital yang menjanjikan nilai jangka panjang. Bagi regulator di Indonesia, ia adalah komoditas yang perlu diawasi dan diatur. Bagi sebagian pionir kripto, Bitcoin tetaplah mata uang alternatif yang menawarkan kebebasan finansial dari sistem perbankan konvensional.

Tapi satu hal yang pasti: pemahaman publik soal Bitcoin masih dalam proses tumbuh. Dan di sinilah pentingnya diskusi yang jernih, terbuka, dan berbasis data—bukan sekadar euforia.

Di era informasi ini, mereka yang menang bukan yang paling cepat membeli, tapi yang paling dalam memahami.