Awal Mula Perdagangan Karbon Dunia, Indonesia Memulai sejak 2015

Perdagangan karbon menjadi solusi masalah Iklim global yang semakin buruk sejak era industri dimulai. Pemanasan global akibat efek rumah kaca menyebabkan penipisan lapisan ozon. Hal itu memicu cuaca ekstrem yang berdampak buruk bagi lingkungan. Seperti panas menggila, hujan tidak menentu, tornado, tsunami hingga gempa bumi.

Efek rumah kaca atau pemanasan global sebagian besar disebabkan oleh industri besar di negara-negara maju. Asap industri telah menyebabkan pencemaran udara, alhasil cadangan oksigen di udara tergusur oleh peningkatan karbon dioksida yang semakin tidak menentu.

Para ilmuan dan negara-negara maju akhirnya menyadari krisis lingkungan yang semakin parah. Mereka akhirnya berkumpul mencari solusi guna mencari emisi karbon (penetralan udara) dan menjadikan kegiatan industri ramah lingkungan.

Sejarah Singkat Perdagangan Emisi Karbon

Di titik ini lah kemudian muncul skema perdagangan karbon sebagai salah satu solusi mengatasi pemanasan global.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Stokcholm 1972 mengadakan Konferensi tentang Lingkungan Hidup Manusia. Pada konferensi ini, perwakilan dari berbagai negara bertemu untuk pertama kalinya dan membahas situasi lingkungan hidup secara global. Pertemuan pertama ini belum menghasilkan solusi kinerja bersama. Baru pada pertemua kedua negara anggota PBB mulai ada tindakan.

Baca Juga:  Potensi BRICS Tidak Dapat Bersaing Dengan Dollar

Pertemuan kedua dikenal dengan sebutan Rio de Janeiro 1992. PBB kembali mengadakan Konferensi Bumi, di mana pada konferensi ini terbentuk konvensi kerja yang disebut United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Tujuan utama UNFCCC adalah menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer hingga berada di tingkat aman.

Usai itu, pada 1997 UNFCCC mulai mengatur ketentuan stabilitas konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer dalam Protokol Kyoto. Protokol ini disahkan pada 11 Desember 1997 dan mulai berlaku pada 16 Februari 2005. Periode komitmen pertama dimulai pada tahun 2008 dan berakhir pada tahun 2012, di mana 38 negara-negara industri dan masyarakat Eropa dituntut untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar rata-rata 5% di bawah tingkat emisi di tahun 1990.

Baca Juga:  Daftar Lembaga Donasi Terpercaya untuk Palestina

Pada periode komitmen kedua (2013-2020), target pengurangan emisi sebesar 18% di bawah tingkat emisi tahun 1990. Meski Protokol Kyoto mampu menekan emisi di negara-negara terikat (27% dari emisi karbon global pada periode pertama, dan 15% pada periode kedua), namun emisi karbon global juga meningkat sebesar 2.6% di tahun 2012 atau sekitar 58% lebih tinggi dari tingkat emisi tahun 1990.

Beberapa tahun kemudian, Protokol Kyoto 1997 mulai membentuk perjanjian bersama beranggotakann195 pemerintah dari berbagai negara. Perjanjian ini bertempat di Negara Paris, sehingga perjanjian ini dikenal dengan perjanjian Paris (Paris Agreement) pada 12 Desember 2015.

Perjanjian Paris sepenuhnya bersifat sukarela. Negara-negara tersebut berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dan memastikan suhu global tidak naik lebih dari 2˚C (3.6˚F), serta menjaga kenaikan suhu global tetap di bawah 1.5˚C (2.7˚F).

Baca Juga:  Cara Menjadi Manajer Media Sosial, Digaji $50.000-$100.000

Perjanjian Paris ini mulai berlaku efektif pada 4 November 2016. Negara-negara yang menyepakati Perjanjian Paris diharuskan untuk menyerahkan Nationally Determined Contributions (NDCs)–rencana pengurangan emisi dan strategi penerapannya setiap lima tahun sekali. Setiap NDC baru harus lebih ambisius dari rencana sebelumnya, terutama dalam peningkatan target emisi yang dikurangi.

Indonesia sejak 2015 silam sudah mulai aktif untuk melakukan perdagangan karbon. Kendati demikian kala itu masih terjadi pro dan kontra. Berbagai isu lingkungan sosial dan damapak ekonomi masyarakat menjadi momok yang memperlambat implementasi perdagangan karbon Indoneisa.

Kemudian, Presiden Joko Widodo pada Senin (25/9) lalu telah meresmikan peluncuran perdagangan emisi karbon. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia. Selain itu, hutan Indonesia juga disebut sebagai paru-paru dunia karena memiliki cadangan oksigen melimpah dari hutannya.

Penulis: Bahri