Nataindonesia.com – Haji Rahmat, warga Desa Gapura Kecamatan Gapura, Kabupaten Sumenep dilaporkan ke Pengadilan Negeri Sumenep oleh anak kandungnya sendiri, atas kasus sengketa tanah keluarga. Haji Rahmat berharap anaknya segera bertobat dan kembali pada nilai-nilai kebaikan. 4 Oktober 2024
Sengketa bermula pada tahun 1975, ketika Haji Rahmat mulai menggarap lahan negara seluas 21 hektar. Lahan tersebut semula adalah lahan tidur, lalu diubah menjadi lahan produktif. Pada tahun 2009, ketika Haji Rahmat memiliki cukup dana untuk mengurus legalitas lahan tersebut, ia memutuskan untuk mengurus sertifikat dan membagi-bagikan tanah tersebut kepada anggota keluarganya.
Keputusan tersebut diambil Haji Rahmat untuk mencegah konflik di masa depan. Ia membagi tanahnya menjadi beberapa bagian, di mana 7 hektar atas nama dirinya sendiri, 8 hektar atas nama istrinya yang telah meninggal, 3 hektar atas nama anak laki-laki tertua, Astomo, dan 3 hektar lainnya untuk Mojono, anak yang baru saja menyelesaikan kuliah dan belum sepenuhnya mandiri pada waktu itu. Selain itu, saudara perempuan Mojono juga mendapatkan tanah di tempat lain seluas 2 hektar.
Namun, masalah mulai muncul ketika Mojono, yang dianggap sebagai harapan keluarga karena pernah mengenyam pendidikan sarjana, mulai bertindak berbeda. Tanah atas nama almarhum ibunya yang seluas 8 hektar dijual oleh Mojono tanpa persetujuan penuh dari keluarga. Pembagian hasil penjualan tersebut pun dianggap tidak adil. Tak hanya itu, tanah atas nama dirinya sendiri juga dijual oleh Mojono, menambah luka bagi keluarganya.
Puncak dari persoalan ini terjadi ketika Haji Rahmat menjual sebagian haknya, yakni 4 hektar tanah miliknya sendiri. Mojono, yang seharusnya menghormati keputusan ayahnya, justru menggugat Haji Rahmat secara perdata di Pengadilan Negeri Sumenep. Gugatan ini tidak hanya ditujukan kepada Haji Rahmat, tetapi juga kepada saudara-saudaranya yang dijadikan tergugat.
Kasus ini masih berjalan hingga sekarang, menciptakan kegemparan di masyarakat Sumenep. Banyak orang yang terkejut dengan tindakan Mojono, mengingat Sumenep adalah daerah yang dikenal dengan budaya yang menjunjung tinggi penghormatan terhadap orang tua. Ini mungkin menjadi salah satu kasus pertama di daerah tersebut, di mana seorang anak menggugat ayah kandungnya sendiri di pengadilan.
Namun, perseteruan ini tidak berhenti di ranah perdata. Mojono kabarnya juga telah melaporkan kasus ini ke Polres Sumenep dan Polda Jawa Timur dengan tuduhan dugaan pemalsuan terkait 4 hektar tanah tersebut. Tuduhan tersebut, menurut Haji Rahmat, tidak berdasar, karena tidak ada unsur tindak pidana yang terjadi. Haji Rahmat juga mengingatkan bahwa dalam hukum, sesuai dengan Perma Nomor 1 Tahun 1956 Pasal 1, ketika ada objek perkara perdata yang sedang diproses di pengadilan, maka perkara pidana harus ditangguhkan hingga perkara perdata tersebut memiliki kekuatan hukum tetap.
Di tengah konflik ini, Haji Rahmat hanya bisa berharap anaknya, Mojono, segera bertobat dan berhenti dari tindakannya yang dianggap durhaka. “Menang jadi arang, kalah jadi abu,” ungkap Haji Rahmat dengan penuh harapan agar keluarganya dapat kembali hidup dalam damai. Baginya, perselisihan ini tidak hanya merusak hubungan keluarga, tetapi juga melukai hati dan harga diri sebagai seorang ayah.
Kasus ini terus menyedot perhatian publik, terutama karena nilai-nilai keluarga yang dipertaruhkan. Haji Rahmat berharap bahwa kebenaran akan terungkap dan Mojono, anak yang pernah ia harapkan sebagai penerus keluarga, dapat menyadari kesalahannya dan kembali menjunjung tinggi rasa hormat terhadap orang tua serta keluarganya. (*)