Aktor Pembuka Konflik dan Sejarah Panjang Israel Palestina

Sejarah Panjang Konflik Israel – Palestina

Inggris bisa dikatakan sebagai aktor pembuka konflik Israel Palestina, yang bermula pada perang dunia II. Kala itu bangsa Yahudi tengah diburu habis-habisan oleh pasukan Nazi, Jerman yang dipimpin Hitler. Orang-orang Yahudi diburu hingga ke berbagai pelosok eropa.

Sementara serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 lalu merupakan serangkaian konflik berkepanjangan antara Bangsa Palestina dan Yahudi. Konflik ini tidak lepas dari sejarah panjang kedua bangsa yang masih satu genetik itu.

Selama beberapa dekade, media Barat, akademisi, pakar militer, dan pemimpin dunia menggambarkan konflik Israel-Palestina sebagai konflik yang sulit diselesaikan, rumit, bahkan dikatakan menemui jalan buntu. Abadi!

Kenapa sampai diprediksi sebagai konflik peperangan Abadi? Kita telusuri konflik awal mula kedua negara ini pecah dan berkelanjutan hingga saat ini.

Balas Budi Inggris

Lebih dari 100 tahun yang lalu, pada tanggal 2 November 1917, Menteri Luar Negeri Inggris Arthur Balfour, menulis surat yang ditujukan kepada Lionel Walter Rothschild, seorang tokoh komunitas Yahudi Inggris. Surat Itu menjanjikan sebuah tanah air bagi Bangsa Yahudi.

Semula Inggris menawarkan wilayah Uganda di Afrika. Namun tawaran itu ditolak karena yang diinginkan bangsa Yahudi adalah tanah Palestina, pilihan ini disebabkan oleh ikatan sejarah bangsa Yahudi sejak ribuan tahun lalu.

Sebenarnya, tawaran inggris menjanjikan tanah air bagi Bangsa Yahudi merupakan tanda balas jasa. Pasalnya, Chaim Wheizman, seorang ilmuan Yahudi berhasil membantu inggris memenangkan perang dunia pertama.

Whiezman menemukan cara produksi Aseton skala banyak. Aseton ini kemudian digunakan dalam pembuatan propelan peledak ringan yang sangat vital untuk membantu peperangan inggris kala itu.

Pembagian Tanah & Awal Mula Konflik

Sejarah Israel Palestina
Peta Tanah Palestina yang dijanjikam Inggris ke Yahudi (sumber: BBC)

Pada April 1920, inggris memberikan tanah Palestina kepada Yaduhi seluas 120.466 Km2, luas ini juga meliputi wilayah Jordan sebelum akhirnya menjadi negara Jordania.

Pada saat yang sama, pembagian itu ditentang oleh bangsa Arab, mereka tidak menginginkan berdirinya Negara Israel di Palestina, pada saat itu hampir 90% penduduk Palestina adalah bangsa Arab.

Inggris pun Mendapat tekanan yang sangat kuat yang akhirnya pihak inggris menawarkan pembagian wilayah menjadi dua bagian.

Sebelah timur sungai Jordan menjadi milik Yahudi Palestina dengan luas 28.166 Km2 atau hanya sekitar 23% dan sebelah barat sungai Jordan menjadi milik Arab Palestina dengan luas 92.300 Km2, atau 77% atas luas tanah keseluruhan.

Sejarah Israel Palestina

Pembagian itu telah menggagalkan bangsa Yahudi memiliki tanah seluas 120.466 Km seperti yang dijanjikan inggris di awal.

Mandat Balfour

Pada tahun berikutnya, tepat 1923 Mandat Inggris yang dikenal dengan mandat Balfour memberikan jaminan kepada Bangsa Yahudi untuk tinggal di Tanah Palestina. Berdasar jaminan itu, Bangsa Yahudi yang tersebar di berbagai belahan dunia mulai banyak berdatangan ke tanah Palestina.

Migrasi besar-besaran orang yahudi terjadi saat perang dunia dua berlangsung, dimana kala itu Yahudi yang ada di Eropa tengah diburu habis-habisan oleh Nazi untuk dibunuh.

Gelombang migrasi yahudi kemudian mendapat perlawanan dan protes dari warga Palestina. Mereka khawatir akibat membludaknya mirgrasi orang Yahudi ini inggris akan kembali melakukan penyitaan tanah untuk diserahkan kepada Yahudi.

Pemberontakan Pertama

Akhirnya protes itu menyebabkan Pemberontakan negara-negara Arab, yang berlangsung dari tahun 1936 hingga 1939.

Baca Juga:  Jong Sumekar Sosialisasi Pilkada 2024 kepada Mahasiswa, Bahas Bahaya Politik Uang

Pada April 1936, Komite Nasional Arab yang baru dibentuk menyerukan revolusi. Komite Nasional Arab meminta warga Palestina untuk melancarkan pemogokan umum, menahan pembayaran pajak dan memboikot produk-produk Yahudi.

Aksi itu merupakan protes terhadap kolonialisme Inggris dan meningkatnya imigrasi Yahudi ke Tanah Palestina.

Namun Pemogokan yang berlangsung selama 6 bulan tersebut ditindas secara brutal oleh Inggris.

Rakyat Palestina yang memprotes ditangkap bahkan tidak segan rumahnya dihancurkan. Praktik itu akhirnya juga berlangsung pada Era Israel berdiri sebagai negara.

Kendati demikian, Rakyat palestina tidak gentar untuk terus melakukan perlawanan kepada Inggris dan zionis.

Fase kedua pemberontakan dimulai pada akhir 1937 dan dipimpin oleh gerakan perlawanan petani Palestina. Menargetkan kekuatan Inggris dan kolonialisme.

Kemudian Pada paruh kedua 1939 Inggris mengerahkan 30.000 tentara di Palestina. Desa-desa dibom melalui udara, rumah-rumah dihancurkan, dan penahanan administratif serta pembunuhan massal besar-besaran terjadi.

Bersamaan dengan itu Inggris dibantu penuh oleh komunitas pemukim Yahudi yang membentuk kelompok bersenjata. Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal tentara Israel atau yang kini dikenal Israel Defence Force (IDF).

Dalam tiga tahun pemberontakan tersebut, meyebabkan 5.000 warga Palestina terbunuh, 15.000 hingga 20.000 orang terluka dan 5.600 orang dipenjarakan

Akibat dari revolusi itu akhirnya Inggris dan PBB untuk kedua kalinya mengurangi lagi jatah wilayah untuk Yahudi.

Dari 23% milik yahudi tersebut dikurangi lagi karena wilayah itu harus dibagi dengan Arab hingga Yahudi hanya mendapat jatah 6% luas tanah dari yang semula dijanjikan seluas 120.466 Km2.

Sementara daerah tanah Transjordan yang semula milik orang Palestina Arab malah dijadikan Negara baru yang berbentuk kerajaan yaitu Jordania, berada dibawah pengawasan Inggris.

Pendirian negara Jordania ini diberikan kepada Hussein Bin Ali,penguasa mekkah sekaligus raja Hijaz yang dipaksa lengser akibat pemberontakan yg dipimpin bani Saud Pimpinan Ibnu Saud.

Solusi PBB

Pada 1947 populasi Yahudi telah membengkak menjadi 33% di Palestina, namun mereka hanya memiliki 6% lahan. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kemudian mengadopsi Resolusi 181 yang menyerukan pembagian Palestina menjadi negara-negara Arab dan Yahudi.

Namun Palestina menolak rencana tersebut karena rencana tersebut akan memberikan sekitar 56% wilayah Palestina kepada negara Yahudi, termasuk sebagian besar wilayah pesisir yang subur.

Pada saat itu, warga Palestina memiliki 94% wilayah bersejarah dan 67% wilayahnya sudah ditempati secara turun temurun oleh orang Palestina.

Nakba

Sebelum Mandat Kekuasaan Inggris berakhir pada 14 Mei 1948, paramiliter Israel sudah memulai operasi militer untuk menghancurkan kota-kota dan desa-desa Palestina guna memperluas perbatasan Israel yang akan lahir.

Sejak 1947 hingga 1949, lebih dari 500 desa, kota kecil dan besar di Palestina dihancurkan. Kejadian ini kemudian dikenal sebagai “Nakba” atau dalam bahasa arab diartikan Bencana.

Diperkirakan 15.000 warga Palestina terbunuh, termasuk dalam puluhan pembantaian. Insiden ini juga membuat Gerakan Zionis menguasai 78% wilayah bersejarah Palestina.

Sisanya yang sebesar 22% dibagi menjadi wilayah yang sekarang menjadi Tepi Barat yang diduduki dan Jalur Gaza yang terkepung.

Akibat serangan brutal Zionis itu, diperkirakan 750.000 warga Palestina terpaksa meninggalkan rumah mereka. Ada yang mengunsi di pengungsian palestina, sebagian lagi ada yang pergi ke negara tetangga seperti Lebanon, Suriah, Yordania dan Mesir.

Negara Israel Resmi Berdiri

Pada 15 Mei 1948, Israel mengumumkan pendiriannya sebagai negara berdaulat. Keesokan harinya, perang Arab-Israel pertama dimulai dan pertempuran berakhir pada Januari 1949 setelah gencatan senjata antara Israel dan Mesir, Lebanon, Yordania, dan Suriah.

Baca Juga:  Anies Baswedan akan Umumkan Cawapresnya Sepulang Ibadah Haji
Sejarah Israel Palestina
Deklarasi pendirian Negara Israel (Sumeber:BBC)

Pada bulan Desember 1948, Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi 194, yang menyerukan hak untuk kembali bagi pengungsi Palestina.

Pasca Nakba

Setidaknya 150.000 warga Palestina tetap tinggal di negara Israel yang baru dibentuk. Warga Palestina itu berada dalam kontrol militer selama 20 tahun sebelum mereka akhirnya diberikan kewarganegaraan Israel.

Pasca Nakba, Mesir mengambil alih Jalur Gaza, dan pada tahun 1950, Yordania memulai pemerintahan administratifnya atas Tepi Barat. Lalu, pada tahun 1964, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dibentuk, dan setahun kemudian, partai politik Fatah didirikan.

Perang 6 Hari

Pada 5 Juni 1967, Israel menduduki sisa wilayah bersejarah Palestina, termasuk Jalur Gaza, Tepi Barat, Yerusalem Timur, Dataran Tinggi Golan Suriah, dan Semenanjung Sinai Mesir selama Perang Enam Hari melawan koalisi tentara Arab.

Bagi sebagian warga Palestina, hal ini menyebabkan perpindahan paksa kedua, atau Naksa, yang berarti “kemunduran” dalam bahasa Arab.

Sejak saat itu, bangsa palestina yang hidup dalam wilayah kekuasaan israel mendapt pelakuan diskriminatif.

Contohnya, Pemukim Yahudi diberikan semua hak dan keistimewaan sebagai warga negara Israel sedangkan warga Palestina harus hidup di bawah pendudukan militer yang mendiskriminasi mereka dan melarang segala bentuk ekspresi politik atau sipil.

Intifada Pertama

Intifada atau yang berarti perlawanan dalam Bahasa Arab. Palestina melakukan perlawan pertama kali di Jalur Gaza pada Desember 1987. Ini terjadi setelah empat warga Palestina tewas ketika sebuah truk Israel bertabrakan dengan dua van yang membawa pekerja Palestina.

Protes menyebar dengan cepat ke Tepi Barat dengan pemuda Palestina melemparkan batu ke tank dan tentara Israel. Kejadian ini kemudian melahirkan berdirinya gerakan Hamas, sebuah cabang dari Ikhwanul Muslimin yang terlibat dalam perlawanan bersenjata melawan pendudukan Israel.

Menteri Pertahanan Israel, Yitzhak Rabin murka atas kejadian itu. Ia memerintahkan kepada para militer untuk tidak segan melakukan tindak kekerasan kepada warga palestina.

Aksi ini mencakup pembunuhan mendadak, penutupan universitas, deportasi aktivis, dan penghancuran rumah.

Intifada terutama dilakukan oleh kaum muda dan diarahkan oleh Kepemimpinan Nasional Terpadu Pemberontakan, sebuah koalisi faksi politik Palestina yang berkomitmen untuk mengakhiri pendudukan Israel dan membangun kemerdekaan Palestina.

Intifada ditandai dengan mobilisasi rakyat, protes massal, pembangkangan sipil, pemogokan yang terorganisir dengan baik, dan kerja sama komunal.

Menurut organisasi hak asasi manusia Israel B’Tselem, 1.070 warga Palestina dibunuh oleh pasukan Israel selama Intifada, termasuk 237 anak-anak dan Lebih dari 175.000 warga Palestina ditangkap.

Intifada juga mendorong komunitas internasional untuk mencari solusi atas konflik tersebut.

Perjanjian Oslo dan Otoritas Palestina

Intifada berakhir dengan penandatanganan Perjanjian Oslo atau PLO pada tahun 1993 dan pembentukan Otoritas Palestina (PA).

PA merupakan sebuah pemerintahan sementara yang diberi weweang sebagai pemerintahan mandiri terbatas di wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza.

PLO mengakui Israel berdasarkan solusi dua negara dan secara efektif menandatangani perjanjian yang memberi Israel kendali atas 60% Tepi Barat, serta sebagian besar sumber daya tanah dan air di wilayah tersebut.

PA seharusnya memberi jalan bagi pemerintah Palestina terpilih pertama yang menjalankan negara merdeka di Tepi Barat dan Jalur Gaza dengan ibu kotanya di Yerusalem Timur, namun hal itu tidak pernah terjadi.

Baca Juga:  Perang Teknologi China-AS Makin Memanas, Chip AS Didepak

Kemudian PA diKritik karena sudah dipandang sebagai subkontraktor korup atas pendudukan Israel yang bekerja sama erat dengan militer Tel Aviv dalam menekan perbedaan pendapat dan aktivisme politik.

Akhirnya Pada tahun 1995, Israel membangun pagar elektronik dan tembok beton di sekitar Jalur Gaza, menghentikan interaksi antara wilayah Palestina yang terpecah.

Intifada Kedua

Intifada kedua dimulai pada 28 September 2000, ketika pemimpin oposisi Partai Likud Israel, Ariel Sharon, melakukan kunjungan provokatif ke kompleks Masjid Al Aqso. Saat itu, ribuan pasukan keamanan dikerahkan di dalam dan sekitar Kota Tua Yerusalem.

Bentrokan antara pengunjuk rasa Palestina dan pasukan Israel menewaskan lima warga Palestina dan melukai 200 orang selama dua hari. Insiden ini memicu pemberontakan bersenjata yang meluas.

Selama Intifada, Israel menyebabkan kerusakan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap perekonomian dan infrastruktur Palestina.

Israel menduduki kembali wilayah yang diperintah oleh PA dan memulai pembangunan tembok pemisah yang seiring dengan maraknya pembangunan pemukiman, menghancurkan mata pencaharian dan komunitas warga Palestina.

Pemukim Yahudi pun juga mulai bermukim secara ilegal di wilayah itu. Ruang bagi warga Palestina semakin menyusut karena jalan-jalan dan infrastruktur yang hanya diperuntukkan bagi pemukim Yahudi ilegal itu.

Pada saat Perjanjian Oslo ditandatangani, lebih dari 110.000 pemukim Yahudi tinggal di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur. Saat ini, jumlahnya mencapai lebih dari 700.000 orang di lebih dari 100.000 hektar tanah yang diambil alih dari Palestina.

Perang Saudara Palestina

Pemimpin PLO Yasser Arafat meninggal pada tahun 2004. Setahun kemudian, Intifada kedua berakhir, permukiman Israel di Jalur Gaza dibongkar, dan tentara Israel serta 9.000 pemukim meninggalkan daerah kantong tersebut.

Setahun kemudian, warga Palestina menggelar pemilihan presiden pertama pemilihan umum. Hamas memenangkan mayoritas. Namun, pecah perang saudara Fatah vs Hamas yang berlangsung berbulan-bulan dan mengakibatkan kematian ratusan warga Palestina.

Hamas mengusir Fatah dari Jalur Gaza, dan Fatah kembali menguasai sebagian Tepi Barat. Pada bulan Juni 2007, Israel memberlakukan blokade darat, udara dan laut di Jalur Gaza, menuduh Hamas melakukan “terorisme”.

Serangan ke Jalur Gaza

Israel telah melancarkan empat serangan militer berkepanjangan di Gaza yakni di tahun 2008, 2012, 2014 dan 2021. Ribuan warga Palestina telah terbunuh, termasuk banyak anak-anak, dan puluhan ribu rumah, sekolah, dan gedung perkantoran telah hancur.

Pembangunan kembali hampir mustahil dilakukan karena pengepungan tersebut menghalangi material konstruksi, seperti baja dan semen, mencapai Gaza.

Serangan tahun 2008 melibatkan penggunaan senjata yang dilarang secara internasional, seperti gas fosfor.

Pada 2014, dalam kurun waktu 50 hari, Israel membunuh lebih dari 2.100 warga Palestina, termasuk 1.462 warga sipil dan hampir 500 anak-anak. Selama serangan tersebut, sekitar 11.000 warga Palestina terluka, 20.000 rumah hancur dan setengah juta orang mengungsi.

Konfik Israel Palestina 2023

Berdasarkan data Kantor PBB untuk Urusan Kemanusiaan (OCHA), perang kali ini merupakan yang paling mematikan di wilayah itu setidaknya pada 50 tahun terakhir.

Hingga 2 November 2023, total jumlah korban kedua belah pihak mencapai 41.234 orang. Dari jumlah itu, sebanyak 25,7 persen, 10.593 jiwa, merupakan korban tewas dan 30.541 orang, 74,3 persen, adalah korban luka-luka. (red)