— Esai Politik Reflektif—
Setiap lima tahun, panggung politik dirombak. Aktor baru muncul, jargon baru diluncurkan, baliho wajah-wajah optimis menjamur. Tapi jalan cerita tetap sama: rakyat menonton tanpa benar-benar tahu arah kisahnya. Masalah kita bukan kekurangan pemimpin—kita kekurangan naskah. Negara ini terlalu sering mengganti pemain, tapi lupa menulis cerita yang bisa menyatukan makna.
Indonesia tampak seperti drama politik tanpa sutradara, atau lebih parah: dikendalikan oleh rating dan algoritma. Pemilu berubah menjadi ajang pencarian talenta—bukan siapa yang membawa visi, tapi siapa yang lebih menjual di layar kaca. Kita dipandu oleh impresi, bukan intensi.
Ketika politik kehilangan cerita, ia menjadi sekadar teknik. Kampanye jadi datar, janji jadi populis, dan kebijakan jadi produk viral. Tapi bangsa tidak tumbuh dari teknik. Bangsa tumbuh dari cerita yang membuat rakyat merasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar—bukan sekadar statistik.
Lihatlah Jepang. Mereka bangkit dari reruntuhan bukan hanya lewat teknologi, tapi dengan kisah nasional tentang martabat dan ketekunan. Korea Selatan menambal lukanya lewat kebudayaan yang bercerita. Cina menghidupkan kembali ribuan tahun peradaban untuk mengikat rakyatnya dalam satu garis sejarah. Semua dibangun di atas narasi yang kuat—bukan hanya infrastruktur.
Kita dulu juga punya cerita. Bung Karno menggagas Trisakti: berdikari dalam ekonomi, berdaulat dalam politik, dan berkepribadian dalam budaya. Tapi cerita itu ditelan oleh Orde Baru yang menggantinya dengan narasi stabilitas. Setelah reformasi, alih-alih melahirkan kisah baru, kita terjebak dalam euforia kebebasan tanpa arah.
Politik hari ini dikelola seperti konten: cepat viral, cepat hilang. Menteri menjual jargon industrialisasi, pejabat tampil layaknya selebritas, dan tokoh publik sibuk mengelola brand pribadi. Tapi di tengah itu semua, rakyat kehilangan cerita tentang siapa mereka sebenarnya, dan ke mana arah bangsa ini.
Karena bangsa dibangun bukan dari beton semata, tapi dari makna. Cerita-lah yang membuat rakyat bertahan meski digempur. Cerita-lah yang membuat orang mau berkorban, bahkan untuk negeri yang tak selalu adil pada mereka. Cerita-lah yang bisa menyatukan generasi, membentuk identitas, dan menyalakan harapan.
Kalau hari ini kita merasa bangsa ini kehilangan arah, mungkin bukan karena pemimpinnya buruk. Mungkin karena kita tak lagi punya kisah yang layak dipercayai bersama.
Penulis : Arka Sadhana Ziyad.