PUISI LANGIT YANG JATUH DI MATAMU
Entah bagaimana kuterjemahkan tentang detak jantungku. Ia berdegup tak karuan tiap kali namamu melintas dalam benak—
seperti genderang perang yang tak tahu kapan usai, seperti hujan yang jatuh tanpa aba-aba di musim yang mestinya cerah.
Wajahmu telah memenuhi segala dimensiku.
Pagi menyapaku dengan bayanganmu,
siang menyimpannya di balik sorot matahari,
malam menidurkanku dalam mimpi yang selalu mengulang senyummu. Aku tak tahu sejak kapan ini bermula, mungkin sejak mataku pertama kali bertemu matamu dan waktu seperti melambat hanya untuk mengizinkan hatiku jatuh.
Pikiranku melambung ke langit—bukan karena aku ingin terbang, tapi karena hanya langit yang cukup luas untuk menampung semua tentangmu: tatapmu yang teduh,
langkahmu yang tenang, dan suara tawamu yang menggetarkan ruang-ruang kosong dalam diriku.
Hati syahdu menyebut namamu,
dalam diam, dalam doa, seperti anak kecil yang terus berharap meski tahu permen di etalase terlalu tinggi untuk digapai.
Tapi aku tetap menyebutnya—namamu—
karena hanya itu yang bisa kulakukan
tanpa harus merusak kesempurnaan yang kuamati dari jauh.
Segala keindahan yang kulihat padamu
membuatku lupa akan hari yang penuh kejutan, lupa pada luka, pada kegagalan, pada duka yang pernah kukenakan.
Kau seperti jeda dalam lagu yang terlalu ribut,seperti selimut tipis di malam yang dingin, membuat segalanya terasa cukup walau tak pernah kumiliki.
Cinta, memanglah rahasia langit
yang tak pernah benar-benar terpecahkan.
Para penyair telah mencoba, para filsuf menulis berjilid-jilid, namun jawabannya tetap tersembunyi dalam sesuatu yang tak bisa dijelaskan, selain dengan rasa yang tiba-tiba tumbuh begitu saja.
Segala penafsir sudah menyerah,
dan begitupun diriku— aku menyerah atas keindahanmu, bukan karena lelah, tapi karena akhirnya kusadari: beberapa hal hanya perlu dikagumi, bukan dimiliki.
Langkah-langkahku kutapaki dalam diam,
bukan karena takut, tapi karena tahu:
kisah ini tak perlu menjadi milik dunia,
cukup menjadi rahasia antara aku, kamu, dan langit yang tahu.
Hanya bayangmu yang menuntunku pulang
setiap kali dunia terasa terlalu gelap dan asing.
Dalam sunyi, kuingin bicara,
mengurai isi hati seperti benang yang kusut,
namun kata-kata seakan malu pada cahaya matamu yang tenang dan tak tergapai.
Aku bukan pujangga, tapi setiap gerakmu menjelma bait dalam dadaku.
Aku bukan pelukis, namun senyummu adalah lukisan abadi yang tak pernah luntur dari kanvas pikiran.
Andai waktu bisa kubekukan, akan kupilih detik saat kau menoleh dan tersenyum -karena di sanalah aku tahu,
langit pernah benar-benar jatuh ke bumi,
dan aku berdiri tepat di bawahnya.
Z Bahri, Mei 2025.