Opini  

Banjir di Madura: Cermin Krisis Lingkungan dan Ketidaksiapan Tata Ruang Daerah

Oleh: Indra Arif Kurniawan*

NataIndonesia.com – Dalam beberapa tahun terakhir, Pulau Madura yang dikenal sebagai daerah tandus dan identik dengan kekeringan justru harus menghadapi kenyataan pahit. Banjir yang merendam permukiman, infrastruktur, lahan pertanian, hingga fasilitas umum.

Bencana ini tak hanya terjadi sekali dua kali, melainkan berulang dan meluas dari tahun ke tahun. Beberapa wilayah seperti Sumenep, Pamekasan, Bangkalan, bahkan sebagian Sampang tercatat mengalami genangan cukup parah. Fenomena ini menjadi paradoks besar, karena wilayah yang selama ini dianggap kering justru kini berkubang air. Apa yang sebenarnya terjadi?

Banjir bukan sekadar fenomena alam biasa yang muncul karena curah hujan tinggi semata. Ia adalah akumulasi dari banyak masalah baik ekologi, sosial, maupun kebijakan tata ruang yang tidak berpihak pada keseimbangan lingkungan. Ketika hujan turun dengan intensitas tinggi, sistem alam yang seharusnya mampu menyerap dan menyalurkan air, justru gagal berfungsi.

Banyak saluran drainase yang tersumbat oleh sampah, resapan air yang berkurang drastis akibat alih fungsi lahan, dan kawasan hijau yang menyusut secara signifikan karena pembangunan permukiman, industri, dan infrastruktur yang kurang mempertimbangkan daya dukung lingkungan.

Baca Juga:  Dimana Ujung Dunia?

Fenomena banjir di Madura secara tidak langsung membongkar krisis tata kelola ruang yang selama ini terabaikan. Pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi kerap dilakukan tanpa analisis risiko bencana yang memadai. Padahal, perubahan fungsi lahan di daerah pesisir dan dataran rendah tanpa perhitungan ekosistem yang sehat bisa menjadi penyebab utama rusaknya sistem hidrologi lokal.

Tanah yang sebelumnya mampu menyerap air kini berubah menjadi permukaan keras yang memantulkan air ke permukiman. Inilah yang disebut sebagai malpraktik tata ruang.

Lebih lanjut, banjir di Madura menunjukkan bahwa kita juga sedang berada dalam pusaran krisis iklim global. Perubahan pola cuaca yang ekstrem membuat hujan deras bisa datang secara tiba-tiba dan tidak terduga. Curah hujan tinggi yang turun dalam waktu singkat dengan cepat membanjiri wilayah padat penduduk, karena infrastruktur penanganan air hujan tidak dibangun untuk menghadapi skenario ekstrem seperti ini.

Baca Juga:  Ekspor Pasir Laut RI Ancam 34 Ribu Orang Nganggur, PDB Turun Rp 1,22 T

Ini bukan hanya soal infrastruktur fisik, tapi juga tentang ketidaksiapan sistem pemerintahan lokal dalam mengantisipasi dan merespons perubahan iklim secara sistematis.

Dalam konteks ini, pendekatan penanganan banjir tidak bisa lagi hanya bersifat reaktif dan sementara. Pemerintah tidak cukup hanya memberikan bantuan logistik saat banjir datang, tetapi perlu membangun kebijakan yang bersifat preventif dan jangka panjang.

Dibutuhkan perencanaan tata ruang yang berbasis mitigasi bencana, pembenahan sistem drainase perkotaan, dan rehabilitasi kawasan hijau secara menyeluruh. Pemerintah daerah harus mampu menyusun peta risiko bencana secara detail dan melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan lingkungan yang berkelanjutan.

Sementara itu, masyarakat juga memegang peran vital dalam pengelolaan lingkungan lokal. Banyak dari kita yang masih membuang sampah sembarangan, menutup saluran air dengan bangunan liar, atau menebang pohon tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap lingkungan sekitar. Tanpa kesadaran kolektif masyarakat, segala bentuk kebijakan pemerintah akan sulit berjalan efektif. Budaya gotong royong dan kepedulian terhadap lingkungan yang dulu menjadi kekuatan masyarakat Madura perlu dihidupkan kembali.

Baca Juga:  Rokok Ilegal di Madura: Bisnis Abu-Abu yang Merobek Wibawa Negara

Pendidikan lingkungan sejak dini, penyuluhan tentang pentingnya daerah resapan, serta kampanye literasi iklim perlu diperluas ke semua lapisan masyarakat, terutama di daerah rawan banjir. Jangan sampai banjir hanya dianggap sebagai musibah tahunan yang “sudah biasa”, sementara penyebab strukturalnya terus diabaikan.

Di sisi lain, media dan akademisi juga perlu mengambil peran aktif dalam membentuk opini publik yang lebih kritis terhadap isu ini. Data-data banjir, analisis dampaknya terhadap ekonomi lokal, serta peran-peran komunitas dalam membangun ketahanan lingkungan harus terus disuarakan. Banjir bukan hanya merendam rumah dan sawah, tetapi juga merendam mimpi, harapan, dan masa depan generasi muda di Madura.

*Ketua HMP PBSI STKIP PGRI Sumenep