Misteri Pesulap Dapur
Setelah insiden teh chamomile yang nyaris membuatku bersumpah jadi petapa anti-cairan, hidupku tak lagi sama. Cangkir kucingku kini kujaga bak harta karun, selalu kucuci dan kusimpan di laci terkunci. Toples kopi bubuk? Aku pindahkan ke kamar, tidur bersamanya seperti bayi. Tapi kertas misterius bertulisan “Selamat mencoba, Penikmat Kopi. —Tukang Sulap Dapur” itu terus menghantuiku. Aku bahkan mulai curiga Boni, kucingku, bukan cuma kucing biasa. Matanya yang mengedip saat itu… terlalu mencurigakan.
Hari ini, seminggu setelah “Tragedi Chamomile”, aku bangun dengan tekad baru: cari tahu siapa atau apa itu Pesulap Dapur. Aku bukan detektif, tapi aku punya kopi, WiFi, dan keberanian yang dipicu oleh kafein.
Pagi masih gelap, jam 05:30. Aku ke dapur, memastikan semuanya aman. Ketel, cangkir kucing, toples kopi—semua di tempatnya. Aku buat kopi dengan hati-hati, mencium aroma pahit yang menenangkan. Tegukan pertama: kopi. Asli. Aku nyaris menangis bahagia.
Tapi saat aku duduk di meja makan, sesuatu membuatku tersedak. Di bawah cangkirku, ada kertas kecil, sama seperti sebelumnya, dengan tulisan tangan yang rapi: “Kopi itu cuma awal. Coba lihat di lemari. —Pesulap Dapur.” Jantungku berdegup. Aku sendirian di rumah. Rara masih di luar kota, dan Boni sedang sibuk menjilati cakarnya di sofa. Aku menatap lemari dapur, yang tiba-tiba terasa seperti gerbang ke dimensi lain.
Dengan tangan gemetar, aku membuka lemari. Di dalamnya, di antara tumpukan piring, ada sebuah kotak kayu kecil yang belum pernah kulihat sebelumnya. Ukurannya sebesar kotak teh, diukir dengan pola daun yang aneh. Aku tarik napas dalam, membukanya, dan… kosong. Tapi di dasar kotak, ada tulisan lain: “Temui aku di pasar pagi. Bawa kopimu.” Aku menutup kotak itu cepat-cepat, merasa seperti tokoh dalam film thriller murahan.
Pasar pagi? Aku bukan tipe orang yang bangun pagi untuk belanja sayur. Tapi rasa penasaran (dan sedikit ketakutan) mendorongku. Aku ambil cangkir kopiku, mengenakan jaket, dan berangkat ke pasar terdekat, yang cuma lima menit dari rumah. Di sana, aroma ikan segar, bunga, dan teriakan pedagang bercampur jadi simfoni pagi. Aku berdiri canggung dengan cangkir kucingku, merasa seperti orang idiot yang menunggu agen rahasia.
Tiba-tiba, seorang nenek kecil dengan syal warna-warni mendekatiku. Matanya berbinar, dan dia tersenyum lebar. “Kamu Penikmat Kopi, ya?” katanya, suaranya renyah seperti biskuit.
Aku mengangguk pelan, bingung.
“Aku Nyai Roro, panggil aja Nyai. Pesulap Dapur itu… yah, semacam hobi sampinganku,” lanjutnya sambil cekikikan.
Aku menatapnya, tidak percaya. Nenek ini? Pesulap Dapur? “Tapi… kenapa teh chamomile? Kenapa rumahku?” tanyaku, suaraku setengah histeris.
Nyai mengelus dagunya. “Rumahmu punya energi, Nak. Dapurmu hidup. Aku cuma… memberi sedikit kejutan. Chamomile itu tes. Kalau kamu minum teh tanpa marah, kamu lulus. Tapi kelihatannya kamu militan banget sama kopi.”
Aku masih bingung, tapi Nyai melanjutkan. Katanya, dia bukan penyihir, tapi “penjaga cerita dapur”. Setiap rumah punya roh kecil di dapurnya, dan dapurku, entah kenapa, suka bikin ulah. Kertas-kertas itu? Cara Nyai berkomunikasi tanpa ketahuan. Kotak kayu? Hadiah dari roh dapur, yang katanya akan terisi kalau aku “menerima kejutan hidup”. Aku cuma bisa mengangguk, setengah takut, setengah ingin pulang.
Sebelum pergi, Nyai menepuk tanganku.
“Besok, coba buat teh. Sekali aja. Roh dapurnya pengen ngobrol.” Dia mengedipkan mata—sama seperti Boni—lalu menghilang di keramaian pasar. Aku pulang dengan kepala penuh tanda tanya, cangkir kopiku masih kugenggam erat.
Malam itu, aku menatap Boni, yang kini duduk di meja dapur, menatapku balik.
“Kamu tahu sesuatu, kan?” tanyaku. Boni cuma menguap, tapi aku bersumpah ekornya membentuk tanda tanya.
Aku memeriksa kotak kayu lagi, dan kali ini, di dalamnya ada satu teh celup chamomile. Aku menghela napas. Besok, mungkin, aku akan coba minum teh. Tapi cuma sekali. Dan kopiku tetap nomor satu.
Bersambung.