10 November ditetapkan sebagai Hari Pahlawan Indonesia. Pada hari itu terjadi pertempuran sengit Surabaya dan tercatat sebagai salah satu peristiwa penting dalam sejarah Republik Indonesia (RI).
Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Usia itu pemerintah mengeluarkan maklumat yang menetapkan mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan di seluruh wilayah Indonesia. Gerakan pengibaran bendera tersebut meluas ke seluruh daerah-daerah, salah satunya di Surabaya.
Kemudian pertengahan September 1945,
Tentara Inggris yang tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) datang bersama dengan tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
Kedatangan mereka adalah melucuti tentara Jepang dan membebaskan tawanan perang yang ditahan oleh Jepang, sekaligus mengembalikan Indonesia kepada pemerintahan Belanda sebagai negara jajahan.
Kemudian tepat 19 September 1945 sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan W.V.Ch. Ploegman mengibarkan bendera Belanda di Hotel Yamato, Jalan Tunjungan Nomor 65, Surabaya, tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya.
Hal inilah yang kemudian memicu kemarahan arek-arek Surabaya. Mereka menganggap Belanda menghina kemerdekaan Indonesia dan melecehkan bendera Merah Putih.
Mereka protes dengan berkerumun di depan Hotel Yamato. Mereka meminta bendera Belanda diturunkan dan dikibarkan bendera Indonesia.
Pada 27 Oktober 1945, perwakilan Indonesia berunding dengan pihak Belanda dan berakhir meruncing karena Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan.
Perkelahian itu mengakibatkan Ploegman tewas dicekik oleh Sidik. Hotel Yamato ricuh. Warga ingin masuk ke hotel, kemudian Hariyono dan Koesno Wibowo yang berhasil merobek bagian biru bendera Belanda sehingga bendera menjadi Merah Putih.
Pada 29 Oktober, pihak Indonesia dan Inggris sepakat menandatangani gencatan senjata. Namun keesokan harinya, kedua pihak bentrok dan menyebabkan Brigadir Jenderal Mallaby, pimpinan tentara Inggris, tewas tertembak dan mobil yang ditumpanginya di ledakan oleh milisi. Pemerintah Inggris marah.
Melalui Mayor Jenderal Robert Mansergh, pengganti Mallaby, ia mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum pada pukul 06.00, 10 November 1945.
Ultimatum tersebut membuat rakyat Surabaya marah. Puncaknya, pertempuran 10 November meletus. Perang antar kedua kubu berlangsung sekitar tiga minggu. Tokoh perjuangan yang menggerakkan rakyat Surabaya antara lain Sutomo, K.H. Hasyim Asyari, dan Wahab Hasbullah. Pertempuran tersebut menewaskan ribuan korban. Korban dari Indonesia diperkirakan 16.000 dan pihak Inggris sekitar 2.000.
Tokoh yang Terlibat Perjuangan 10 November
Pertempuran ini melibatkan banyak tokoh pahlawan yang berperan penting dalam mempertahankan Surabaya dari pasukan sekutu yang mencoba merebut kembali kendali kota ini.
Inilah beberapa tokoh yang memegang peran kunci dalam Pertempuran Surabaya yang dilansir dari grid.id:
• Bung Tomo (Sutomo)
Bung Tomo, atau sebenarnya bernama Sutomo, adalah seorang pahlawan nasional yang lahir pada 3 Oktober 1920 di Surabaya.
Salah satu peran besar Bung Tomo dalam Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya adalah melalui pidatonya. Pidato bersejarahnya berhasil membangkitkan semangat rakyat Surabaya untuk kembali melawan penjajah.
Frasa “Merdeka atau Mati” yang ia ucapkan telah menjadi ikonik dan memotivasi pejuang sebelum pertempuran dimulai. Selain itu, Bung Tomo juga memimpin Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) selama pertempuran.
• Gubernur Suryo (Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo)
Gubernur Suryo merupakan Gubernur Jawa Timur yang memainkan peran penting dalam pencetus Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945.
Dalam kapasitasnya sebagai Gubernur Jawa Timur, ia terlibat dalam komunikasi untuk meminta bantuan kepada pemimpin nasional.
Akhirnya, keputusan penuh diberikan pada Gubernur Suryo untuk menghadapi pasukan sekutu. Pidatonya yang terkenal dengan sebutan ‘Komando Keramat’ memotivasi para pejuang dan rakyat Surabaya.
• Mayjen Sungkono
Ketika pertempuran sedang berlangsung, Mayjen Sungkono menjabat sebagai Komandan Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang bertanggung jawab atas pertahanan seluruh kota.
Pada 9 November 1945, ia memberikan semangat kepada pejuang melalui pidatonya melalui radio atau pertemuan langsung.
Mayjen Sungkono tidak hanya memberi komando melalui radio, tetapi juga memimpin langsung pertempuran, sehingga Surabaya mendapat julukan “Kota Pahlawan.”
• KH Hasyim Asy’ari
KH Hasyim Asy’ari adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU) yang gigih dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Perannya dalam Pertempuran Surabaya dimulai dengan fatwa ‘Resolusi Jihad’ yang dikeluarkan pada 22 Oktober 1945.
Fatwa ini memuat kewajiban berjihad untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pidato Bung Tomo terinspirasi dari resolusi jihad yang dikeluarkan oleh KH Hasyim Asy’ari.
• Mayjen Moestopo
Mayjen Moestopo adalah salah satu tokoh yang ikut serta dalam Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945.
Sebelum pertempuran, Moestopo mengikuti pelatihan tentara Pembela Tanah Air (PETA) angkatan kedua di Bogor, Jawa Barat.
Setelah pelatihan, ia diangkat sebagai komandan kompi di Sidoarjo. Mayjen Moestopo ikut serta dalam menghadang pasukan Inggris sebelum pertempuran meletus.
• HR Mohammad Mangoendiprodjo
Mohammad Mangoendiprodjo memimpin Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan memiliki peran penting dalam Pertempuran Surabaya.
Pada 10 November, ia berperan sebagai wakil Indonesia dalam kontak biro dengan pasukan Inggris di Surabaya.
Untuk mencegah pasukan Inggris menduduki Bank Internatio, ia memasuki gedung dan berkomunikasi dengan komandan pasukan Inggris. Penembakan yang terjadi saat itu, termasuk penembakan terhadap AWS Mallaby, memicu pecahnya Pertempuran Surabaya.
• Abdul Wahab Saleh
Abdul Wahab Saleh adalah seorang fotografer dari Antara yang berhasil mengabadikan momen bersejarah perobekan bendera Belanda.
Fotografer ini juga memotret peristiwa heroik Arek-Arek Suroboyo dalam Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Fotonya menjadi saksi bisu dari perjuangan dan perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Surabaya.
Perang mengusir penjajah pada 10 November 1945 menjadi pemebejaran bagi para generasi bangsa. Para pahlawan tidak pernah membiarkan kedaulatan negara dipermainkan oleh bangsa luar. (*)